Senin, 12 Oktober 2015

Memoar Jogja



Ditertawakan Buku

Bumi berputar. Selalu ada cerita baru dalam dunia baru. Praktek Kerja Lapangan (PKL) di kota Yogyakartata yang belum genap kuselesaikan menyisihkan banyak kenangan. Memang benar yang tertera pada palng-plang deretan kota, “Yogya istimewa.”
Pagi itu aku bersama lima belas teman kelompok nekat berkunjung ke candi Prambanan. Menilik sejenak budaya dan sejarah yang lestari di kota ini. Sejarah, ya masih ingat petuah seorang guru “salah satu pemicu sukses adalah tidak lupa dengan sejarah.
Trans jogja atau familiar disingkat TJ adalah satu-satunya kendaraan umum yang pas untuk kalangan buta peta Jogja seperti kami, atau lebih tepatnya sepertiku. Kami menunggu TJ di halte “diklat PU”. Karena bangku Halte penuh, aku terpaksa berdiri menyandar pada  dinding kaca halte. Sempat kuamati pemandangan sekitar. Tampak dua penjaga halte yang bertugas mengenakan seragam hijau tua corak hitam. Sepertinya hijau menjadi warna andalan perusahaan trans Jogja ini. Petugas pertama sibuk melayani para penumpang yang terus berdatangan. Sedang petugas ke dua berdiri menyandar pada dinding halte mengawasi keadaan sekitar dengan koran ditangannya. Sesekali matanya awas pada sekeliling, namun banyak kali akhirnya ia asyik dengan Koran yang ditentengnya. Tidak tau apa yang sedang ia baca, yang aku tau betapa pekerja biasa sempatkan diri menambah ilmu dengan membaca disela-sela jam kerjanya.
Kualihkan pandangan pada calon penumpang yang juga berdiri di ujung halte. Pria berkacamata dengan ransel hitam. Stylenya biasa, namun yang menarik adalah koran ditangannya. Sepertinya daripada otak-atik gadget seperti pada umumnya ia lebih tertarik dengan ragam berita di Koran. Kuperhatikan ia nampak teliti melihat seluruh sudut koran. Kuterka sepertinya ia sedang memilih topik menarik untuk dibaca.
Selang beberapa menit TJ datang. Satu persatu kami naik TJ. Nasib berdiri berpihak padaku dan sebagian teman teman lain. Butuh tiga kali transit dari halte Diklat PU untuk sampai ke halte Prambanan. Pada Transit yang ke tiga akhirnya aku duduk tidak jauh dari pak sopir. Ku perhatikan gaya sopir memegang kemudi sambil sesekali melihat padatnya keramaian Yogyakarta. Waktu itu, ntah di jalan apa namanya lampu merah menyala. TJ kami ikut berhenti. Ini tentu hal biasa. Tapi yang lain dari kebiasaan adalah pak sopir meraih koran dan menyempatkan diri membacanya sambil menunggu lampu merah berganti warna.
Inikah yang disebut kota pelajar? Bahkan yang belajar bukan hanya pelajar. Pekerja dengan segenap kesibukannya juga menyempatkan diri untuk belajar. Lalu bagaimana denganku? Dengan status mahasiswa di kedua pundakku. Alangkah banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa ada nutrisi baru untuk akal. Dunia membaca. Betapa malunya aku ditertawakan banyak buku, Koran dan bacaan lainnya yang selama ini kusia-siakan.

Afini. Jogja, 13 Agustus 2015