Minggu, 08 Juni 2014

KONSEP ILMU NAHWU DALAM PEMIKIRAN IBRAHIM MUSTHOFA



MAKALAH
KONSEP ILMU NAHWU DALAM PEMIKIRAN
IBRAHIM MUSTHOFA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Nahwu

Dosen Pembimbing
Tamim Mulloh, M.Pd



UIN MALANG.png
 








Oleh
Cakra Sadida (12310013)
Afini Hidayah (12310016)
Moch. Amrozi Fahmi (12310104)

FAKULTAS HUMANIORA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014


DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
Latar belakang .............................................................................. 1
Rumusan Masalah......................................................................... 2
Tujuan Pembahasa........................................................................ 2
Bab I I: PEMBAHASAN
Biografi Ibrahim Musthofa ............................................................ 3
Pemikiran Ibrahim Musthofa......................................................... 4
Kritik dan Tawaran Ibrahim Musthafa............................................. 5
BAB III: PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................. 12
Daftar Pustaka .............................................................................. 13



كلمة الشكر
بسم الله الرحمن الرحيم
و النحو أولى أولا أن يعلما# إذا الكلام دونه لن يفهما[1]
          الحمد لله الذي جعل الإسلام الدين القويم، وجعل العربية لغة مختار للقرآن الكريم, ووسيلة رئيسية لفهم الدين، وأرشد عباده إلى الصراط المستقيم، والصلاة والسلام على خير العرب والعجم سيدنا وحبيبنا محمد ابن عبد الله الذي أرشدنا إلى سعادة الدنيا والآخرة. حمدا و شكرا لله، الذي قد أعطانا نعما كثيرة وموفرة حتى نستطيع أن نكتب هذه المقالة تحت الموضوع
 "KONSEP ILMU NAHWU DALAM PEMIKIRAN IBRAHIM MUSTHOFA"
ولاأنسى أشكر جزيل الشكر إلى الأستاذ تميم الله، الماجستير الذي علمنا كثيرا المادة أصول النحو. و نرجوا لأصدقاء والأستاذ الاقتراحات من الأخطاء والنقائص لهذه المقالة.       

                الكاتب

مالانق، 4 يونيو 2014


[1]Syekh syarifudin yahya al imrithi, nadzam al imrithi. Madrasah hidayah surabaya
 
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
            Ilmu Nahwu merupakan salah satu cabang pengetahuan dasar dalam pembelajaran bahasa Arab. Pada masa awal kelahirannya, ilmu ini dimaksudkan sebagai panduan dan kaidah bagi bahasa Arab yang benar dan fasih. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, ilmu nahwu telah berubah menjadi suatu disiplin yang pelik dan rumit. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang turut mematangkan dan mempengaruhi disiplin ini, terutama pengaruh logika formal, filsafat dan ilmu kalam.
            Karenanya, dalam menyusun kaidah-kaidah nahwiyyah pun para ahli nahwu menggunakan metode logika formal dan falsafati yang sarat akan alasan, sylogisme dan lain- lain. Akibatnya, nahwu telah kehilangan fungsinya sebagai kaidah yang simpel dan membantu para peminat bahasa Arab, dan bahkan ia seringkali dituduh sebagai penghambat mempelajari bahasa Arab.[1]
            Corak nahwu yang di nilai sulit tersebut memunculkan ide-ide baru para ulama Nahwu untuk memunculkan kaidah- kaidah nahwu yang lebih simple dan mudah dipelajari. Para tokoh kontemporer ilmu nahwu diantaranya As suyuthi, Ibrahim Musthafa, Syauqi Dhoif, yang membuat rumusan baru atau reformulasi dan mengembalikan tujuan semula ilmu ini dibangun. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas tuntas konsep ilmu Nahwu yang dibawakan oleh Ibrahim Musthofa, salah satu ulama Nahwu kontemporer.


1.2  RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas maka kita dapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.  Siapa Ibrahim Musthofa?
2.  Bagaimana pemikiran nahwu menurut Ibrahim Musthofa?
3.  Bagaimana kritik dan tawaran Ibrahim Musthofa mengenai Ilmu Nahwu?


1.3  TUJUAN PEMBAHASAN

Dari rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan pembahasan sebagai berikut:
1.  Mengetahui siapa Ibrahim Musthofa
2.  Mengetahi agaimana pemikiran nahwu menurut Ibrahim Musthofa
3.  Mengetahui bagaimana kritik dan tawaran Ibrahim Musthofa mengenai Ilmu Nahwu

















BAB 11
PEMBAHASAN

2.1        Biografi Ibrahim Musthofa

beliau dilahirkan di andalus pada tahun 1863 hijriah dan meninggal pada tahun 1927 hijriah,[2]  Ibrahim musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo).
 Di masa remajanya, beliau mengenyam masa pendidikannya di beberapa universitas di mesir, mulai dari universitas al-azhar, darul ulum, universitas mesir lama, universitas mesir al-ulya dan universitas mesir baru.
Rasa jenuh dan bosan terhadap konsep nahwu klasik sudah beliau rasakan saat berada di al-azhar, dan mulai meragukan konsep tersebut ketika berada di universitas mesir lama, sehingga pada saat berada di universitas mesir baru beliau mulai menyusun konsep nahwu yang baru.[3] Pada bulan januari 1937 beliau mempublikasikan karyanya dalam ilmu nahwu yang berjudul “Ihya’ al-nahwi” yang didalamnya beliau menawarkan konsep dan metode pengkajian ilmu nahwu yang baru.[4]
Pada bagian pengantarnya, Ibrahim Musthafa menyatakan sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu yang aku geluti selama tujuh tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa lembar saja. Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para pelajar dan menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel sehingga mereka dapat dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga mengantarkan mereka dapat memahami uslub-uslubnya.[5] http

2.2  .     Pemikiran Nahwu Ibrahim Musthofa

Konsep nahwu yang di tawarkan Ibrahim Musthofa tidak jauh berbeda dengan konsep yang telah dikemukakan oleh Ibnu Madho’ salah seorang ulama pembaharu nahwu, seperti dalam hal penolakan terhadap amil dan lainnya, beliau juga mengemukakan beberapa pendapatnya yang lain tentang tanda I’rob, Tawabi’ dan lainya. [6]
Beberapa opini atau pernyataan penting yang beliau sebutkan dalam kitabnya ihya’ an-nahwu antara lain :
A.           Rofa’(dhommah)  adalah tanda isnad
B.            Jar (kasroh) adalah tanda idhofah
C.           Fathah bukanlah tanda I’rob, melainkan hanya harokat yang ringan dan digemari oleh orang arab disetiap mengakhiri perkataan, dan tidak banyak mendapat perhatian, yang mana hal itu serupa dengan perihal sukun
D.          Tanda I’rob dalam isim termasuk dalam hal diatas( rofa’ dan jar) kecuali dalam hal bina’ ataupun bagian dari tawabi’. [7]

Beliau juga menambahkan beberapa point penting lainnya yang tertulis dalam pendahuluan bukunya tersebut, yaitu :
a.              Tanwin merupakan tanda nakiroh(kata umum)
b.             Tidak ada isim ma’rifat yang bertanwin( kata khusus)
c.              Kata sifat(na’at) boleh bertanwin, kecuali kata sifat tersebut tertentu pada isim ma’rifat (man’utnya). [8]

Konsep baru yang disumbangkan oleh Ibrahim musthofa ini setidaknya telah mempengaruhi pada generasi-generasi sesudahnya  dalam pengkajian ilmu nahwu, walaupun tidak sedikit pula yang menolak dan mengkritik ide pembaharuannya tersebut.[9]

           
2.3 Kritik dan Tawaran Nahwu  Ibrahim Muusthofa
Ibrahim Musthafa telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran pembaruan terhadap Ilmu Nahwu. Dari pemikiran-pemikirannya, diantaranya yang terpenting adalah tentang redefinisi nahwu, penolakan terhadap amil, pembagian ulang masalah i’rab, tanda-tanda i’rab yang bersifat far’iyah dan tawabi’.

1.      Redefenisi nahwu
Sebelum mengajukan definisi nahwu menurut versinya, Ibrahim Musthafa terlebih dahulu mengkritik para ulama’nahwu klasik yang pada umumnya memberi definisi nahwu dengan:”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui posisi akhir kata baik dari segi mu’rab maupun mabninya”[10]
Dengan definisi nahwu seperti itu, lanjut Ibrahim, kajian nahwu hanya berkutat dan terfokus pada pada huruf-huruf terakhir pada sebuah kata-kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan mabninya. Definisi seperti ini, di kritik Ibrahim, sama dengan mempersempit wilayah kajian nahwu.
Bagi Ibrahim pengertian nahwu adalah “aturan penyusunan kalimat dan penjelasan posisi setiap kata yang ada di dalamnya, posisi kalimat dalam kaitannya dengan kalimat lain yang lebih luas, sehingga menjadi sebuah ungkapan/susunan yang sistematis dan memiliki pengertian yang memadai”.[11]

2.      Penolakan pada amil
Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebih dahulu menggali dan mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan menyatakan sebagai berikut: “lebih dari seratus ribu tahun mereka menekuni dan mengkaji masalah i’rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk membongkar rahasia i’rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya kajian mereka menyatakan bahwa I’rab adalah wujud adanya pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan) maupun yang tidak. Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi mereka adalah nahwu itu sendiri”.[12]
Beliau mengklarifikasikan sebagai berikut:

a.         Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut tidak disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar), memang ada amil yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan (muqaddar). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak sama seperti dalam contoh:[13]
"سقيا لك، تقديره إسق اللهم سقيا دعائى لك

b.      Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma’mul. Kalau kasus ini terjadi maka para ulama’ nahwu klasik membagi cara kerja keduanya, satu amil mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya lagi beroperasi pada segi posisinya seperti dalam kasus kalimat:"بحسبك هذا". Huruf “ba” pada kata “hasbika” bermal pada lafadz “hasbika” itu sendiri, sedangkan amil ibtida’nya beramal pada posisinya yang menjadi mubtada’. Dari kasus semacam ini lalu mereka menciptakan teori “al-Tanâzu’” (saling berebut dalam beramal) yang sangat rumit dan berbelit-belit.[14]

c.       Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi’il semata dan hanya beramal pada isim, baik rafa’ nashab. Fi’il hanya dapat merafa’kan satu isim saja, menasabkan lebih dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan menasabkan sekaligus.[15]


d.     Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal sempurna, sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi sebagai amil yang lemah. Ia tidak dapat beramal kepada kata yang mendahuluinya, bahkan diantaranya ada dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat tertentu seperti fi’il yang berfungsi sebagai ta’ajub, juga kata ni’ma dan bi’sa. Sedangkan fi’il naqis hanya dapat beramal kepada mubtada’ dan khabar.

e.       Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena dipersamakan dulu dengan fi’il seperti isim fa’il, isim maf’ul dan isim mashdar. Setiap isim yang tidak memiliki kemiripan dengan fi’il maka ia tidak dapat beramal atau menjadi amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada sesama isim saja, tetapi juga dapat beramal pada fi’il, ia dapat merafa’kan dan menashabkan isim, tetapi terhadap fi’il ia hanya dapat menjazamkan saja.[16]


f.       Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri sebagai huruf asli dan tidak dipersamakan terlebih dahulu dengan fi’il, kedua dapat beramal jarena dipersamakan dengan fi’il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim maupun fi’il, ia merafa’kan, menasabkan dan mengejerkannya. Terhadap isim, huruf dapat beramal` menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam proses amalnya dipersamakan dengan fi’il, maka kekuatan amalnya dilihat dari sejauhmana huruf tersebut memiliki kemiripan dengan fi’il baik dari segi makna maupun lafadznya. Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal karena ia memiliki arti yang berfungsi meperkuat pernyataan (taukid). Oleh sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan fi’il dari segi maknanya, disamping itu huruf “inna” juga terdiri dari tiga huruf, karenanya ia mirip dengan fi’il dari segi bentuknya. Jika “syiddah” yang ada pada huruf “inna” itu dihilangkan dan menjadi “in” saja, maka ia akan kehilangan daya kemiripannya dengan fi’il yang berarti pula semakin lemah beramalnya.

g.      Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi pasangan khusus bagi kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan” dan “lam” misalnya, keduanya dapat beramal terhadap fi’il mudhari’ sebab keduanya memang hanya dapat berpasangan dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda misalnya dengan huruf “qad”, huruf ini tidak dapat beramal seba ia tidak memiliki pasangan khusus, ia dapat masuk pada fi’il mudhari’ maupun fi’il madhi.[17]

h.         Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam menurut konteks dan posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang dapat beramal sebagaimana amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.

i.               Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi jika amil itu termasuk kategori amil    yang kuat, maka ia dapat diletakkan setelah ma’mulnya.

j.     Pada prinsipnya antara amil dan ma’mul harus terkait langsung, tidak ada pemisah diantara keduanya, namun jika amil termasuk kategori yang kuat maka ia dapat dipisah dengan ma’mulnya.

k.    Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki posisi lebih lemah daripada amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil yang bekerja untuk fi’il terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât al-syarthi”.

l.     Sebuah kata, dapat berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul sekaligus, tetapi dua kata tidak dapat saling beramal.

m.    Bagian kata saja tidak dapat berperan sebagai amil.[18]

n.         Ada beberapa amil yang hanya dapat beramal dari segi “mahalnya” saja, bukan pada lafadznya karena adanya hal-hal tertentu yang membuatnya demikian.

o.         Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal sama, maka mereka akan dimasukan dalam sebuah keluarga seperti “inna” dan “kâna”. Masing-masing dari keluarga huruf tersebut memiliki cara kerja yang lebih luas. Itu sebabnya, ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab), masing-masing mereka juga memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang lain di luar kelompok mereka.[19]

3.      Penyatuan tempat antara mubtada, fail dan naibul fail
Menurut beliau disatukannya ketiga bab tersebut karena antara ketiganya itu sama-sama isim, karena ketiga hukumnya sama-sama rafa’, kata beliau “jika kita melihat bab ini, kita akan menemukan bab yang menyebabkan ketiganya itu bisa dimasukkan dalam satu bab”.[20]

4.      Fathah bukanlah alamat I’rob
Jika selama ini tanda I’rab yang dikenalkan dalam nahwu ada tiga macam yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka menurut Ibrahim musthafa fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu tanda i’rab. Jadi menurutnya, tanda i’rab itu hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan karena adanya pengaruh dari amil tetapi dari si pembicara sendiri untuk menentukan makna dari kalimat.
Dhlommah adalah tanda dari isnad, sedangkan kasroh adalah tanda dari idlafah, Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua bahasan nahwu yang termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah yaitu idafah konvensional (kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf (jar) seperti huruf “min. ila’ ‘an. ‘ala’ fi’ dan lain sebagainya yang olehnya disebut sebagai huruf idhafah (hurûf al-Idhafah).
Sedangkan fathah menurut beliau bukanlah termasuk dalam tanda I’rab karena menurut beliau fathah tidak enimbulkan atau menunjukkan ma’na apapun, adi sebenarnya fathah itu adalah tanda yang disukai orang arab dikarenakan fathah itu lebih ringan dari tanda yang lainnya.

5.      Penolakan terhadab alamat I’rab fariyah (cabang)
Disamping i’rab asli (dhammah, kasrah dan fathah), para ahli nahwu klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang atau yang biasa disebut dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan sebabagi pengganti dari i’rab yang asli.
Dalam kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti contoh-contoh berikut ini: "جاء أبوك، رأيت أباك، مررت بأبيك”, menurut ahli nahwu klasik yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf “wawu”, yang kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”.
Menurut Ibrahim musthafa sesuatu seperti itu terlalu mengada-ngada dan sangat dipaksakan, karena kalimat tersebut sebenarnya kalimat yang mu’rab seperti kalimat yang lainnya, seperti pada kasus tanda “و” ketika rafa’ atau “ي” ketika jar pada jama’ mudzakkar salim, menurut beliau sebenarnya alamat dari hal ter sebut bukanlah “و” ataupun “ي”, tetapi kalimat tersebut tandanya bisa dikembalikan pada alamat asalnya yaitu dlommah dan kasroh dan kata ya’ dan wau hanya sebagai “isybâ’” (pemuasan atau pemantapan semata).[21]

6.      Tawabi’
Tawâbi adalah sebuah kata atau kalimat yang mengikuti kata atau kalimat sebelumnya. tawabi’ tersebut adalah “al-athf, al-na’at, al-taukid dan al-badal”[22]. Ibrahim tidak menolak adanya tawabi’ ini. Yang ia usulkan adalah agar pembahasan tentang athaf (al-Athf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi atau menjadi pembahasan tersendiri. Sebab lafadz yang diatafkan memang tidak termasuk dari tawabi, tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan ma’thuf-nya.
Pertama menurut beliau a’thaf nasaq tidak dimasukkan dalam tawabi’, dikarenakan menurut beliau a’taf nasaq menyerupai terhadap sifat, dan i’rab dari hal ini dimasukkan dalam isnad ataupun idlafah, berarti menurut beliau pembahasan dari a’thaf nasaq terfokus pada ma’na huruf a’taf, bukan pada kalimatnya.
Kedua, menurut beliau na’at sababi juga tidak bisa dimasukkan kedalam tawabi’, alasan dari na’at sababi ini juga sama dengan a’taf nasaq, maksudnya dengan sebab apapun na’at sababi adalah sifat.
Ketiga, yang lebih aneh menurut beliau khabar harus dimasukkan dalam tawabi’, karena dilihat dari pengertian tawabi’ sendiri adalah kalimat yang mengikuti kalimat sebelumnya, menurut beliau khabar dimasukkakn kedalam tawabi’ karena hal tersebut.[23]

7.      Isimnya (لا) نفيه للجنس
Menurut ulama ilmu nahwu terdahulu isimnya la nafiyah liljinsi ini mabni ala fathah, dan mahalnya nashab apabila mufrad, dan apabila mudaf atau syibeh mudaf maka menjadi mu’rab dan tetap dibaca nashab. [24]
Akan tetapi menurut ibrahim musthafa bukanlah seperti itu, jadi menurut beliau antara (لا) dan isimnya itu adalah satu kesatuan yang belum sempurna tanpa khabar setelahnya.[25] Contoh: لاريب,لاشك

8.      Tanwin dalam  alam
Menurut ulama nahwu terdahulu “tanwin adalah alamat dari isim”[26], sedangkan menurut ibrahim musthafa hal tersebut tidaklah benar, menurut beliau tanwin bukanlah alamat dari isim bahkan menurut beliau sebenarnya isim itu  tidak mungkin di tanwin kecuali yang nakirah.

9.      Isim ghairu munsharif
Sebagaimana ibrahim mustafa tuturkan bahwasanya tanwin adalah tanda dari nakirah, dan asalnya itu tidaklah ditanwin, maka isim ghairu munsharif itu adalah isim alam yang ajami yaitu nama-nama sealain nama orang arab, juga tarkib mazji, dan yang mengikuti wazan fiil, itu adalah yang tidak bisa kemasukan tanwin, dan itu bukanlah karena ilat tapi karena memang asalnya tidak ditanwin. [27]




BAB III
PENUTUP

            Ibrahim Musthafa adalah salah satu ulama pembaharu Nahwu abad modern. Ia mengarang kitah ihya’ an Nahwi yang berisikan tentang pembaharuan kaidah nahwu dari nahwu klasik sebelumnya agar menjadi simple dan mudah dipelajari oleh kalangan manapun.
Beberapa opini atau pernyataan penting yang beliau sebutkan dalam kitabnya ihya’ an-nahwu antara lain :
A.    Rofa’(dhommah)  adalah tanda isnad
B.     Jar (kasroh) adalah tanda idhofah
C.     Fathah bukanlah tanda I’rob, melainkan hanya harokat yang ringan dan digemari oleh orang arab disetiap mengakhiri perkataan, dan tidak banyak mendapat perhatian, yang mana hal itu serupa dengan perihal sukun
D.    Tanda I’rob dalam isim termasuk dalam hal diatas( rofa’ dan jar) kecuali dalam hal bina’ ataupun bagian dari tawabi’.















DAFTAR PUSTAKA

Dhaif,syauqi. Tafsir An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji          Tajdiidihi.1986. Kairo: Daar Al-ma’aarif.

Ghalayini, Musthafa.  Jami’ud Durus al ‘Arabiyyah. 2005. Kairo: Darul Hadits

Musthafa, Ibrahim. Ihya’un Nahwi. 1992. Kairo: Lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-       nasyr.

Syekh Yahya, syaifudun al imrithi, nadzam al imrithi. Madrasah hidayah surabaya













[3] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2, hlm: cover/pdf
[4] Syauqi Dhoif. Tafsir An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986. Kairo: Daar Al-ma’aarif, hlm: 27
[5] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2, hlm: muqaddimah
[6] Syauqi Dhoif.  Tafsir An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986. Kairo: Daar Al-ma’aarif, hlm : 27-28
[7] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2. pdf
[8] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2. pdf
[9]  Musthafa Ghalayini, Jami’ud Durus al ‘Arabiyyah. 2005. Kairo: Darul Hadits

[11] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[12] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2, pdf
[13] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[14] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[15] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[16] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[17] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[18] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[19] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2hlm: 23-28
[20] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 hlm: 54
[21] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2
[22] Syekh syarifudin yahya al imrithi, al imrithi. Madrasah hidayah surabaya
[23] http;//mahfuzmian.blogspot/2012/06/ibrahim-musthafa.html akses 01 juni 2014
[24] Syekh syarifudin yahya al imrithi, al imrithi. Madrasah hidayah surabaya
[25] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2 hlm: 130
[26] http;//mahfuzmian.blogspot/2012/06/ibrahim-musthafa.html akses 01 juni 2014
[27] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2