Sabtu, 24 Mei 2014

ORIENTALIS DAN HADIS NABI



MAKALAH
ORIENTALIS DAN HADIS NABI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis

Dosen Pembimbing
Dr. Aunul Hakim, M.H



UIN MALANG.png
 






Oleh
Afini Hidayah (12310016)


FAKULTAS HUMANIORA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014


كلمة الشكر
بسم الله الرحمن الرحيم
        الحمد لله الذي جعل الإسلام الدين القويم، وجعل العربية لغة مختاره للقرآن الكريم, ووسيلة رئيسية لفهم الدين، وأرشد عباده إلى الصراط المستقيم، والصلاة والسلام على خير العرب والعجم سيدنا وحبيبنا محمد ابن عبد الله الذي أرشدنا إلى سعادة الدنيا والآخرة. حمدا و شكرا لله، الذي قد أعطانا نعاما كثيرة وموفرة حتى نستطيع أن نكتب هذه المقالة تحت الموضوع “Orientalis dan Hadis Nabi” .
ولاأنسى أشكر جزيل الشكر إلى الدكتور عون الحكيم، الماجستير الذي شرفنا كثيرالمادة علوم الحديث. و نرجوا لأصدقاء والأستاذ الاقتراحات من الأخطاء والنقايص لهذه المقالة.       

                الكاتب
مالانق، 13 مايوا 2014


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG

            Upaya mencari kelebihan dan kekurangan sesuatu untuk menemukan kebenaran[1] (kritik) adalah hal yang wajar berlaku dalam studi ilmiah. Demikian pula terhadap hadis dan para ulama hadis. Kajian hadis dan ulama hadis juga menuai kritik, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari orang-orang non-Islam.
            Jika di kalangan Islam, kritik hadis bertujuan untuk mengetahui mana hadis yang diterima (maqbul) dan mana yang tertolak (mardud), untuk diketahui pula apakah hadis tersebut dapat dijadikan dasar ajaran Islam atau tidak, maka lain halnnya dengan kritik yang datang dari orang non-Islam. Mereka (non-Islam) melakukan kritik terhadap hadis dengan tujuan mencari kesalahan dan kelemahan, untuk digunakan sebagai alat melemahkan Islam. Mereka yang melakukan kajian dunia Timur (Islam) secara umum dikenal dengan istilah orientalis. Dalam makalah ini akan dibahas tentang Segala hal yang berkaitan dengan orientalis dan kritiknya terhadap Hadis.
           





1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka kita dapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa itu orientalis dan bagaimana sejarahnya?
2.      Apa tujuan orientalis dan bagaimana karakternya?
3.      Bagaimana pandangan orientalis terhadap hadis nabi?
4.      Bagaimana sanggahan ulama Hadis terhadap orientalis?

1.3  TUJUAN PEMBAHASAN
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan pembahasan sebagai berikut:
1.      Mengetahui Apa itu orientalis dan bagaimana sejarahnya
2.      Mengetahui Apa tujuan orientalis dan bagaimana karakter kajiannya
3.      Mengetahui Bagaimana pandangan orientalis terhadap hadis nabi
4.      Mengrtahui Bagaimana sanggahan ulama Hadis terhadap orientalis









BAB 11
PEMBAHASAN
2.1  Definisi dan Sejarah Orientalis

a.      Definisi Orientalis
            Kajian orientalis tidak dapat dipisahkan dari studi tentang orientalisme. Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Dalam bahasa inggris, kata orient berarti  direction of rising sun (arah terbitnya matahari.)[2] secara geografis, kata orient berarti dunia timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur.[3] Secara luas kata orient juga berarti wilayah yang membentang dari kawasan timur dekat (turki dan sekitarnya) hingga timur jauh (jepang, korea, cina) dan Asia Selatan hingga republic-republik muslim bekas Uni Soviet, serta kawasan timur tengah hingga Afrika Utara.[4] Adapaun istilah isme bearti aliran, pendirian, ilmu, keyakinan dan sistem.  Dengan demikian secara etimologis orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur.
            Secara terminologis Dr.Muthabaqani menyimpulkan bahwa makna orientalisme adalah segala sesuatu yang bersumber dari orang barat Eropa dan Amerika berupa studi-studi akademis yang membahas masalah-masalah islam dan kaum muslimin, dibidang syariah, sosial, politik, pemikiran dan seni.[5]
Menurut Dr. Muthabaqani orientalisme juga termasuk didalamnya
1.             Segala sesuatu yang disebar luaskan oleh media massa barat baik dengan bahasa mereka maupun bahasa Arab, melalui Koran, radio, televisi, film, kartun dan saluran-saluran luar angkasa, yang menyangkut islam dan kaum muslimin.
2.             Segala sesuatu yang ditetapkan oleh politisi dan peneliti Barat dalam berbagai konferensi dan seminar mereka, baik yang terbuka maupun yang rahasia.
3.             Segala sesuatu yang ditulis oleh orang Arab Kristen, seperti kaum maronit, yang memandang islam dengan kacamata barat.
4.             Segala sesuatu yang disebar luaskan oleh para peneliti muslim, yang belajar kepada para orientalis dan mengadopsi banyak pikiran dari kaum orientalis, hingga sebagian murid orientalis itu melampaui guru-gurunya dalam hal penggunaan teknik dan metode yang lazim dalam orientalisme[6]
            Muthabaqani menjelaskan definisi orientalisme menurut kritikus orientalisme yang terkenal, yaitu Edward Said dalam bukunya, “orientalisme adalah bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada pemahaman dunia timur secara sistematis sebagai sutau objek yang dapat dipelajari, diungkap dan diaplikasikan.”[7]
b.      Sejarah Orientalis
            Sejarah orientalisme menurut as sibai’[8] diawali saat tentara salib menyerang negeri-negeri islam yang didorong oleh dua factor yaitu factor agama dan fanatisme buta dan factor politik imperialisme. Dan masih banyak pendapat lain yang semua itu menurut muthabaqani adalah tanda-tanda awal munculnya orientalisme. Namun titik awal sesungguhnya adalah sejak abad ke 16 M, yakni suatu masa dimana Eropa tengah mengalami kebangkitan dengan aktivitas reformasi gereja, rennaisanse dan humanism. Sejak abad 16 itulah di Eropa mulai banyak karya berbahasa Arab, juga mulai banyak lembaga kajian yang mengeluarkan berbagai karya berupa buku. Pada tahun 1632 telah terbentuk lembaga studi bahasa Arab di Cambridge, dan pada tahun 1638 terbentuk pula di oxford.[9]




2.2  Tujuan dan Karakteristik Orientalisme

a.      Tujuan Orientalisme
1.             Tujuan Agama ini merupakan tujuan terpenting orientalisme karna pemuka Kristen melihat bahwa agama islam mempunyai kekuatan dan magnet besar untuk dapat di anut orang Kristen. Maka pemuka Kristen melancarkan orientalisme untuk mendikriditkan islam agar orang-orang Kristen menjauhkan diri dari islam
2.             Tujuan Ilmiah. Sejak Eropa mulai bangkit abad 16, mereka membutuhkan ilmu-ilmu dan inspirasi baru untuk kebangkitannya. Karena itu ia mengkaji ilmu muslimin dan menerjemahkannya kedalam bahasa mereka dan mengadopsi kandungannya.
3.             Tujuan Ekonomi. Pada saat Eropa mengalami kebangkitan ilmiah, pemikiran dan industry mereka membutuhkan bahan mentah bagi industrinya dan membutuhkan pasar-pasar baru untuk menjual industrinya yang melimpah. Negeri-negeri islam menjadi sasaran mereka karena itu mereka mempelajari apapun tentang islam.
4.             Tujuan Politik. Orientalisme tidak terpisah dengan imperialism Barat. Para orientalis memasok berbagai informasi dari Negeri yang hendak dijajah.
5.             Tujuan Budaya. Penyebaran budaya barat merupakan tujuan utama orientalisme. Di Negeri Arab misalnya mereka memasukan bahasa Eropa seperti Inggris dan Spanyol dan memusnahkan bahasa Arab Fushah. Orientalis juga menyebarkan paham Barat seperti nasionalisme dan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) di negeri-negeri islam.[10]

b.      Karakter Kajian-Kajian Orientalis
Musthafa as Siba’I menjelaskan beberapa karakter kajian orientalis terhadap islam, diantaranya:[11]
1.      buruk sangka terhadap sesuatu yang berhubungan dengan islam.
2.      buruk sangka terhadap tokoh-tokoh dan ulama islam.
3.      Mendeskripsikan masyarakat ilam, khususnya generasi pertama sebagai masyarakat yang porak- porandakarena factor kekolotan dan egois.
4.      Mendeskripsikan kemoderenan islam dengan deskripsi yang jau dari realita
5.      Sikap tidak mau tau dengan realita masyarakat islam yang sebenarnya, bahkan lebih condong untuk memvonis masyarakat islam dengan sebatas melihat sikap segelintir orang.
6.      Memaksakan penafsiran nash dengan cara pandang mereka yang banyak didorong oleh nafsu dan cenderung tidak obyektif
7.      Cenderung menyimpangkan nash-nash agama sesuai dengan tujuan mereka, serta mengaburkan makna-makna ibadah dikala tidak dapat nash yang dapat mereka plintirkan.
8.      Tidak tepat dalam menukil referensi.

2.3  Orientalis dan Hadis

a.      Pandangan Orientalis Terhadap Hadis
            studi sunnah merupakan hal yang urgen, karena ia merupakan sumber yang orisinil dan genuine bagi agama islam: syariat, agama dan peradaban. Maka tidak heran jika sunnah menyedot perhatian para ulama hadis, seperti imam malik, imam Bukhari, imam Muslim, imam Tirmidzi, imam Ibn Majah, imam An Nasa’I dan yang lainnya.
            Disamping itu, studi sunnah juga mendapat perhatian yang luar biasa dari kalangan orientalis seperti Ignaz Goldizer, Prof. Sachat, Alfred Gume, Prof. Robson dan yang lainnya termasuk para penulis yang banyak terpengaruh pemikirannya oleh logika orientalis seperti Ahmad Amin dlam fajr al islam,[12] Abu Royyah dalam kitabnya adwa ala as sunnah al muhamadiyah dan lainnya.
            Menurut M. Musthafa Azami, Orientalis Yang Pertama Kali Melakukan Kajian Hadis Adalah Ignaz  goldziher, seorang yahudi kelahiran hongaria (1850-1920 M) melalui karyanya yang berjudul: Muhammadanische studien pada tahun 1980 yaitu berisi pandangannya tentang hadis.[13]  Pendapat ini dibantah oleh A.J Wensinck bahwa orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje yang menerbitkan bukunya Refre Coloniale Internationale tahun 1886.[14] Jika pendapat ini benar, maka karya Horgronje terbit empat tahun lebih dahulu dari karya Goldziher.

Menurut as sSiba’I, pendapat Goldziher dapat disimpulkan dalam lima poin berikut:[15]
1.             Bahwa sebagian besar hadis merupakan produk perkembangan islam di bidang politik dan sosial
2.             Bahwa para sahabat dan tabi’in berperan dalam pemalsuan Hadis.
3.             Bahwa rentang jarak  dan waktu yang jauh dari masa Rasulullah SAW membuka peluang bagi para tokoh berbagai aliran untuk membuat hadis dengan tujuan memperkuat aliran mereka.
4.             Bahwa sudut pandang para kritikus dikalangan islam berbeda dengan sudut pandang kalangan non muslim yang tidak menerima banyak hadis yang diakui kebenarannya oleh ummat islam.
5.             Bahwa ia menggambarkan enam kitab hadis yang disusun para ulama sebagai himpunan dari hadis-hadis yang tercecer yang oleh para penghimpunnya dinilai sebagai hadis-hadis sohih.

b.      Kritik Orientalis Terhadap Sanad
            Para orioentalis beranggapan bahwa hadis yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab hadis tidak asli dari Rasulullah, karena sanadnya tidak benar, para perawi dipandang palsu karena dibuat kemudian. Caetani berpendapat bahwa Urwah (w. 94 H) Adalah orang pertama yang menghimpun hadis tetapi tidak menggunakan sanad. Selanjutnya ia menyatakan bahwa  pad masa Abdul al Malik (w. antara 70-80 H), Penggunaan sanad dalam periwayatan hadis juga belum dikenal. Caetani berpendapat bahwa penggunaan sanad baru dimulai pada masa antara Urwah dengan Ibnu Ishaq (w. 151 H). berdasar pada pandangannya ia berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad yang terdapat dalam kitab hadis adalah rekayasa para ahli hadis abad kedua, pendapat ini didukung oleh spranger.[16]

c.       Kritik Orientalis Terhadap Matan Hadis
            Diantara orientalis yang melakukan kritik terhadap matan hadis adalah Ignaz Goldizer dan A.J Wensinck. Goldizer menyangsikan seluruh matan seluruh matan dan menilainya sebagai buatan ulama ahli hadis dan ulama ahli ra’yi. Ia mencontohkan pada hadis yang artinya: “ tidak diperintahkan kecuali tiga masjid, masjid al Haram di Mekkah, masjid an Nabawi di Madinah, dan masjid al Aqsa di Palestina” adalah bertendensi politik. Katanya Abdullah Ibnu Zubair yang sedang berkuasa di Mekkah akan mengambil kesempatan untuk membaiat orang-orang Syam yang pergi haji agar setia kepadanya. Oleh karena itu abdul malik Ibnu Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak pergi haji ke Mekkah tapi cukup di Qubbah Al Sakhra (Yerussalem Palestina). Untuk itu ia menugaskan pada az Zuhairi untuk membuat hadis yang sanadnya bersanbung kepada Nabi.[17]

d.      Kritik Orientalis Tentang Hadis Sebagai Sumber Hukum
Pandangan orientalis terhadap hadis sebagai sumber hokum dapat dilihat dari pandangan mereka tentang peranan nabi Muhammad dalam pembentukan hokum. Menurut Joseph Schacht tujuan Muhammad sebagai nabi bukanlah membuat sistem hokum yang baru melainkan sekedar mengajarkan manusia bagaimana harus bertindak agar selamat menghadapi perhitungan pada hari pembalasan dan agar masuk surge. Senada dengan pendapat Anderson bahwa Muhammad tidak berusaha melakukan sistem hokum yang komprehensif, tetapi hanya melakukan sedikit amandemen terhadap hokum adat yang sudah ada.[18]
Pandangan tersebut berate bahwa dimata para orientalis, nabi Muhammad tidak memiliki otoritas dan kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum. Mereka menolak adanya hokum sistematis dari nabi, yang konsekuensinya menolak sunnah sebagai sumber hokum islam. Menurut mereka, kalaupun ada sunnah yang menjadi sumber hukum islam, maka itu bukan sesuatu yang berasal dari nabi, tetapi berasal dari tradisi yang sudah ada dan berkembangdalam masyarakat baik masa jahiliyah yang kemudian direvisi maupun pada masa awal generasi islam, dan seterusnya.

2.4  Bantahan Ulama Hadis Terhadap Kritik Orientalis

Terhadap kritik dan tuduhan Ignas Goldziher sebagaimana disebutkan maka diajukan bantahan dari para ulama hadis diantaranya  as Siba’I berikut ini:
1.             Bahwa hadis merupakan produk perkembangan islam di bidang politik dan sosial sepanjang dua abad pertama adalah tidak benar. Karena sejak masa sahabat (abad pertama) umat islam telah melakukan penyelidikan terhadap hadis-hadis dan “memburu” para pendusta dan pemalsu hadis. Mereka mengetahui mana hadis yang shahih dan palsu.
2.             Bahwa umat islam terdahulu (sahabat dan tabi’in) berperan dalam pemalsuan hadis iti tidak benar. Karena para sahabat dan tabi’in sangat berhati-hati dalam periwayatan hadist. Karena mereka memahami ancaman Rosulullah “ barangsiapa yang mendustakan ajaranku maka hendaklah ia menempati tempat duduk di neraka.”
3.             Bahwa adanya pihak yang membuat hadis untuk menopang pendapat mereka itu mungkin saja, namun bukan berate bahwa tokoh aliran fiqh, teologi dan politik telamh membuat- buat hadis. Itu semua tidak seburuk sangkaan Goldziher. Yang tidak dipahami Goldziher adalah bahwa perbedaan pendapat para sahabat dan ulama dilator belakangi oleh banyak factor, bukan karena kehendak nafsu dan sikap fanatic semata. Mereka berhukum dengan hadis-hadis yang sampai pada mereka dan berbeda dalam memberikan penilaian. Sebagian menilainya boleh dijadikan dalil (hujjah) dan sebagian tidak. Atau semua bersepakat bahwa hadis- hadis itu dipegang sebagai dalil namun hasil istimbat mereka yang tidak sama. Maka tidak logis apabila mereka dikatakan mereka telah membuat-buat hadis atau mendustakan Rasulullah untuk mendukung pendapat mereka. Mereka semua sepakat untuk mengikuti sunnah atau hadis Rosulullah saw.
4.             Bahwa perbedaan pendapat antara kritikus muslim dan kritikus non muslim sangat berbeda. Kritikus muslim melakukan kritik terhadap hadis dengan kaidah-kaidah dan prinsip yang telah dirumuskan dengan baik, dalam rangka mencari dan meneliti keshahihan suatu hadis guna menjaga kemurnian ajaran yang dibawa nabi Muhammad saw. Sedangkan kritikus non muslim bertujuan mencari titi lemah dari ajaran islam kedua ini.
5.      Bahwa keenam kitab hadis yang disusun para ulama adalah hadis-hadis yang tercecer itu tidak dapat diterima. Karena itu berarti tidak menghargai sahabat dan ulama dalam memelihara hadis pada abad pertama dan kedua. Hadis tidak pernak tercecer karena dijaga lewat praktek sehari-hari oleh umat islam. Haln itu tida terbatas pada sahabat dan tabi’in saja melainkan tersebar keberbagai wilayah taklukan pada abad pertama dan kedua. Hadis berpindah dari generasi ke generasi berikutnya dan terpelihara dari hafalan para penghafalnya. Hadis yang di himpun oleh Bukhori dan Muslim adalah saringan dari beribu-ribu hadis yang tersimpan dalam hafalan para penghafal hadis.
            Begitupun M. Musthafa Azmi memberi bantahan Joseph Schaht bahwa sanad adalah buatan orang belakangan. pernyataan Joseph jelas tidak relevan karna yang ia teliti adalah kitab fiqih, sedang kitab fiqih tidak cocok untuk rujukan penelitian hadis karena kebanyakan kitab fiqih tidak menyebutkan sanadnya dengan tujuan mempersingkat uraian pembahasan.
            Dalam kaitannya terhadap tuduhan Goldziher pula tentang pemalsuan hadis “tidak diperintahkan kecuali tiga masjid, masjid al Haram di Mekkah, masjid an Nabawi di Madinah, dan masjid al Aqsa di Palestina” menurut al Zuhri tidak ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al Zuhri yang tidak pernah bertemu Abdul Malik Al Marwansebelum tahun 81 H. Di sisi lain pada tahun 68 H, orang-orang dinasti Umayyah bersada di Mekkah menunaikan ibadah haji, palestina di tahun tersebut belum berada di bawah kekuasaan bani Umayyah (Malik Ibnu Marwan), begitupun pembangunan Qubbah AL Skhrah dimulai tahun 69 H (saat itu AZ zuhri berumur antara 10-18 tahun) dan baru selesai tahun 72 H. Karena itu tidak mungkin Abdul Malik Ibnu Marwan bermaksud mengalihkan umat islam berhaji dari Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin Al Zuhri membuat hadis palsudalam usia antara 10-18 tahun.[19]
















BAB 111
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
            Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa apapun dan dari sudut manapun kritik yang dilontarkan para orientalis, pada intinya menggugat keberadaan hadis sebagai sumber hokum kedua dalam ajaran islam. Kritik yang mereka lontarkan pada akhirnya bertujuan agar hadis tidak lagi dapat dipakai sebagai pedoman dalam kehidupan umat islam. Dengan tidak digunakannya hadis sebagai pedoman, secara otomatis ajaran-ajaran yang dikandung dalam al Quran tidak dapat ditegakkan.





















3.2 DAFTAR PUSTAKA

Smeer zeid, ulumul hadis, UIN-Malang press, Malang, 2008
Idri, Studi Hadis, Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Damarlaksana Wahyudin, hadis dimata orientalis, benang merah press, Bandung, 2004
http://nimiasata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientalis-terhadap-hadis-dan.html.




























[1] Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kritik
[2] Musthafa maufur, orientalisme: serbuan ideology dan intelektual, ter. (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1995), hlm.11.
[3] Joesoef sou’yb, orientalisme dan islam (Jakarta: bulan bintang, 1985) him.1.
[4] Musthafha maufur, orientalisme, hlm.11.
[5] Muthabaqani, al isytiraq wa makanatuhu bayna al madzahib al fikriyah al muasirah
[6] Muhammad al Bahi, al fikr al islami alhadis wa silatuhu bi alisti’mar al Ghoribi. 472
[7]  Muthabaqani, al isytiraq wa makanatuhu bayna al madzahib al fikriyah al muasirah, hal 1-3.
[8] As sunnah wa makanatuhu fi tasyri’ al islami, 186
[9] Muthabaqani, ibid hal 8.
[10] Muthabaqani, ibid hal 6-11
[11]  As Siba’I, as sunnah wa makanatuhu fi tasyri’ al islami, hal 188.
[12] Baca bantahan buku ini di kitab as Siba’I hal 237-319
[13] M.Musthafa Azami, studies, hlm.94
[14]  Wahyudin damarlaksana, hadis dimata orientalis, (Bandung: benang merah press, 2004), hlm 88.
[15] As Sibai 189-190
[16] M. Musthafa Azami, onschacht’s origin of muhammadan jurisprudence, 234.
[17] M. Musthafa Azami, dirasat fi al hadis an nabawi wa tarikh tadwinihi
[18] Dalam M. Musthafa Azami, on schacht’s, hlm 19.
[19]  M. Musthafa Azhami, dirasat, hal. 457-458.