Monarki dan Arabisasi Pada Masa Bani
Umayyah
Oleh: Afini Hidayah (16721046)
Kita tidak benar-benar diajarkan sejarah dengan benar apabila hanya
disajikan yang benar-benar saja. Belajar dari sejarah adalah belajar bagaimana
meneladani kebaikan atau tidak mengulangi kesalahan. Kita tidak harus marah
ketika fakta sejarah menyebutkan keteledoran di masa silam, itu hanya sebagian
kecil dari banyak kebaikan yang ada. Mari kita perhatikan anak kecil yang
sedang belajar sepeda. Dia belum benar lihai bersepeda apabila lutut atau
sikutnya belum tergores luka. Bahkan setelah jatuh, terluka ia kembali bangkit
dan mencobanya lagi sampai bisa dan semua baik-baik saja. Sekali lagi saya
katakan. Bahwa apapun yang terjadi di masa silam, baiknya kita ambil pelajaran.
Dalam al Quran disebutkan فاقصص القصص لعلهم يتفكرون
(maka kisahkanlah kisah-kisah agar mereka berfikir.) (Qs Al A’raf: 176)
Ibnu Khaldun mengartikan sejarah sebagai sebuah catatan
umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada sifat
masyarakat tersebut. Tentunya peradaban dunia selalu memiliki keunggulanya
sesuai waktu dan tempatnya masing-masing. Pada artikel ini penulis akan
merievew kembali peradaban islam dengan fokus pada masalah sistem monarki dan arabisasi pada masa bani Umayyah. Penulis
akan mengkaji sejarah ini lewat dua buah buku, yaitu buku Phillip K Hitti
dengan judul History Of The Arabs. Philip K Hitti lahir di Libanon tahun
1886. Ia seorang orientalis yang memperkenalkan sejarah kebudayaan Arab ke
Amerika. Ia menempuh pendidikan di universitas Columbia, universitas Amerika di
Beirut. (https://en.wikipedia.org/wiki/Philip_Khuri_Hitti)
Kemudian
buku Tarikh at Tamaddun al Islami milik Jurji Zaidan. Dilahirkan di
Beirut, Libanon 14 desember 1861. Ia dibesarkan dalam kehidupan yang sederhana
dan sekolah di protestan Collage Suriah. Ia lulus sarjana kedokteran.
Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
penguasa monarki atau sistem pemerintahan kerajaan. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan
adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19. Perbedaan di antara penguasa monarki
dengan presiden sebagai kepala
negara adalah penguasa monarki menjadi kepala negara sepanjang hayatnya,
sedangkan presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu. (https://id.wikipedia.org/wiki/Monarki)
Pada buku Hitti dikatakan bahwa Muawiyah yang hidup pada masa bani
Umayyah sebagai pemimpin pertama yang melakukan sistem pemerintahan kerajaan (al
mulk). Disebutkan bahwa para sejarawan memandang Muawiyah sebagai seorang
raja (malik) islam dan bagi orang Arab asli gelar itu sangat buruk
sehingga hanya diterapkan kepada penguasa-penguasa non Arab. Sikap para
sejarawan itu merupakan cerminan sikap kaum puritan yang menuduh Muawiyah
melakukan sekulerisme dalam islam, dan mengubah khalifah an nubuwwah
(kekhalifahan kenabian) menjadi mulk, kekuasaan duniawi. Mereka
menyebutkan beberapa hal profan ciptaan Muawiyah, diantaranya adalah qsurah,
sejenis tenda dalam masjid yang digunakan untuk khalifah, pada saat khutbah
jumat ia lakukan sambil duduk, ia adalah orang pertama yang membangun
singgasana raja (sarir al mulk). Catatan sejarah yang kebanyakan ditulis
pada masa Abbasiyah atau terpengaruh paham syiah meragukan kesalehannya. Namun
riwayat Suriah yang disampaikan oleh Ibnu Asakir menyebutnya sebagai seorang
muslim yang baik. Bagi para khalifah Umayyah sesudahnya, ia merupakan teladan
dalam kelembutan, semangat, kecerdasan, dan kenegarawanan yang berusaha mereka
ikuti, meski hanya segelintir orang yang berhasil mengikutinya. Ia bukan hanya
sang raja pertama, tapi juga raja Arab terbaik. (Hitti, 246)
Pada teks “sikap para sejarawan itu merupakan cerminan sikap kaum
puritan yang menuduh Muawiyah melakukan sekulerisme dalam islam, dan mengubah khalifah
an nubuwwah (kekhalifahan kenabian) menjadi mulk, kekuasaan
duniawi.” Hitti atau penerjemah
menyebutkan kata puritan, alangkah lebih bijak apabila menyebut sejarawan
tersebut dengan sebutan para salafi saleh.
“Arabisasi kerajaan di bawah kepemimpinan Abdul Malik dan Alwalid
meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi publik (diwan)
dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab di Irak dan provinsi bagian Timur, dari
bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab di Damaskus, serta penerbitan uang logam
Arab. Perubahan bahasa secara otomatis menyebabkan perubahan struktur
kepegawaian.” (Philip K Hitti. 1937. Hal 271)
Sejak wilayah seperti Persia dan Damaskus ditaklukkan oleh abdul
malik dan al walid pemimpin pada masa Umayyah, maka roda kepemimpinan diambil
alih oleh pemimipin masa umayyah. Dan para pemimipin berhak merubah tatanan
negara yang ada. Dikatakan oleh Hitti bahwa “perubahan bahasa secara otomatis
menyebabkan perubahan struktur kepegawaian.” Hal ini justru dapat dikatakan
sebaliknya. Berubahnya struktur kepegawaian menyebabkan perubahan bahasa yang
digunakan. Apabila struktur kepegawaian beralih pada pemerintah bani Umayyah
yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya, maka secara langsung
bahasa yang digunakanpun berubah sesuai dengan pengguna bahasa, yaitu bahasa
Arab. Karena bahasa adalah Sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri. (Chaer, 1994)
Mari kita perhatikan negara teangga bekas jajahan inggris seperti
India, Malaysia, dan singapura. Mereka saat ini baik dalam menggunakan bahasa
inggris. Bahasa inggris mendominasi dan hampir menghilangkan bahasa melayu yang
seharusnya menjadi bahasa nenek moyang Malaysia dan Singapura. Itu karena
politisasi bahasa pada masa mereka menjajah berjalan dengan baik. Bahasa,
mereka sebarluaskan agar terus digunakan dan bahasa tidak punah. Arabisasi ini
merupakan bagian dari ekspansi bahasa yang di lakukan pada masa Umayyah. Dengan
berbagai hal yang terjadi, bahasa Arab saat ini menjadi bahasa resmi PBB,
bahasa ke enam dunia.
Selain
bahasa sebagai media berlangsungnya administrasi kerajaan, bani Umayyah
pengubahan mata uang. Pada tahun 695, Abd Malik mencetak dinar emas dan dirham
perak asli murni hasil karya orang Arab. Wakilnya al Hajjaj mencetak uang perak
di Kufah pada tahun berikutnya. (hitti 272). Hingga saat ini nilai tukar mata
uang dinar masih unggul, mencapai urutan pertama. Mencapai sekitar rp. 42.000.-
Dalam
kitab Jurji Zaidan disebutkan mengenai arabisasi ini adalah asbiyatul al
arobiyah (fanatisme Arab). Berawal dari masa jahiliyah ta’assub (fanatisme)
golongan sudah menjadi watak bangsa Arab. Pada masa jahiliyah fanatisme
terlihat pada golongan yang mengagungkan nasab masing-masing. Pada masa Umayyah
tampak beberapa fanatisme dari nama-nama jamiah, maupun lembaga-lembaga. (Jurji
Zaidan. 336)
Daulah
umayyah sangat gigih dalam menjaga kedudukan Arab, tampak dari pemeliharaan
mereka terhadap nasab bangsa Arab. Sampai di perkantoran dan dan
lembaga-lembaga tersebar keturunan Arab. Hatta dikatakan bahwa masa
khulafaurasyidin adalah masa penyebaran agama, dan masa Umayyah adalah masa
pemeliharan segala sesuatu mengenai Arab dan masa pedang. Kemudian daulah
Umayyah menyebarkan bahasa Arab ke seluruh wilayah islam. Dengan memindahkan
bahasa kibti, romawi, persia ke dalam
kabilah Arab. Setelah mesir dikuasai kabilah qibti, Syiria dikuasai
kabilah Romawi, dan Iraq dikuasai kabilah Kildan dan Nibti, maka pemerintahan
di motori oleh generasi bangsa Arab hingga negara-negara Mesir, Syiran dan
negara yang telah disebutkan tadi melupakan bahasa mereka. (Jurji Zaidan. 344)
Tamapak
perbedaan narasi antara Hitti dan Jurji Zaidan Sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya. Hitti mengatakan bahwa bahasa dalam tatanan negara
diubah makan pelaku tatanegara juga harus diubah. Berbeda dengan Jurji Zaidan
yang mengatakan bahwa perubahan pelaku tatanegara menyebabkan perubahan bahasa
yang digunakan.
Daftar Pustaka
Al Quran Al Karim
Hitti, K. Phillip. 1937. History of the Arabs. (terjemhan). PT.
Serambi Ilmu Semesta: Jakarta
Zaidan, Jurji. tarikh al mudun al islami.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar