Jumat, 03 Maret 2017

Monarki dan Arabisasi Pada Masa Bani Umayyah


Monarki dan Arabisasi Pada Masa Bani Umayyah

Oleh: Afini Hidayah (16721046)

Kita tidak benar-benar diajarkan sejarah dengan benar apabila hanya disajikan yang benar-benar saja. Belajar dari sejarah adalah belajar bagaimana meneladani kebaikan atau tidak mengulangi kesalahan. Kita tidak harus marah ketika fakta sejarah menyebutkan keteledoran di masa silam, itu hanya sebagian kecil dari banyak kebaikan yang ada. Mari kita perhatikan anak kecil yang sedang belajar sepeda. Dia belum benar lihai bersepeda apabila lutut atau sikutnya belum tergores luka. Bahkan setelah jatuh, terluka ia kembali bangkit dan mencobanya lagi sampai bisa dan semua baik-baik saja. Sekali lagi saya katakan. Bahwa apapun yang terjadi di masa silam, baiknya kita ambil pelajaran. Dalam al Quran disebutkan فاقصص القصص لعلهم يتفكرون (maka kisahkanlah kisah-kisah agar mereka berfikir.) (Qs Al A’raf: 176)

            Ibnu Khaldun mengartikan sejarah sebagai sebuah catatan umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada sifat masyarakat tersebut. Tentunya peradaban dunia selalu memiliki keunggulanya sesuai waktu dan tempatnya masing-masing. Pada artikel ini penulis akan merievew kembali peradaban islam dengan fokus pada masalah sistem monarki  dan arabisasi pada masa bani Umayyah. Penulis akan mengkaji sejarah ini lewat dua buah buku, yaitu buku Phillip K Hitti dengan judul History Of The Arabs. Philip K Hitti lahir di Libanon tahun 1886. Ia seorang orientalis yang memperkenalkan sejarah kebudayaan Arab ke Amerika. Ia menempuh pendidikan di universitas Columbia, universitas Amerika di Beirut.  (https://en.wikipedia.org/wiki/Philip_Khuri_Hitti)

Kemudian buku Tarikh at Tamaddun al Islami milik Jurji Zaidan. Dilahirkan di Beirut, Libanon 14 desember 1861. Ia dibesarkan dalam kehidupan yang sederhana dan sekolah di protestan Collage Suriah. Ia lulus sarjana kedokteran.




Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki atau sistem pemerintahan kerajaan. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19. Perbedaan di antara penguasa monarki dengan presiden sebagai kepala negara adalah penguasa monarki menjadi kepala negara sepanjang hayatnya, sedangkan presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu. (https://id.wikipedia.org/wiki/Monarki)

Pada buku Hitti dikatakan bahwa Muawiyah yang hidup pada masa bani Umayyah sebagai pemimpin pertama yang melakukan sistem pemerintahan kerajaan (al mulk). Disebutkan bahwa para sejarawan memandang Muawiyah sebagai seorang raja (malik) islam dan bagi orang Arab asli gelar itu sangat buruk sehingga hanya diterapkan kepada penguasa-penguasa non Arab. Sikap para sejarawan itu merupakan cerminan sikap kaum puritan yang menuduh Muawiyah melakukan sekulerisme dalam islam, dan mengubah khalifah an nubuwwah (kekhalifahan kenabian) menjadi mulk, kekuasaan duniawi. Mereka menyebutkan beberapa hal profan ciptaan Muawiyah, diantaranya adalah qsurah, sejenis tenda dalam masjid yang digunakan untuk khalifah, pada saat khutbah jumat ia lakukan sambil duduk, ia adalah orang pertama yang membangun singgasana raja (sarir al mulk). Catatan sejarah yang kebanyakan ditulis pada masa Abbasiyah atau terpengaruh paham syiah meragukan kesalehannya. Namun riwayat Suriah yang disampaikan oleh Ibnu Asakir menyebutnya sebagai seorang muslim yang baik. Bagi para khalifah Umayyah sesudahnya, ia merupakan teladan dalam kelembutan, semangat, kecerdasan, dan kenegarawanan yang berusaha mereka ikuti, meski hanya segelintir orang yang berhasil mengikutinya. Ia bukan hanya sang raja pertama, tapi juga raja Arab terbaik. (Hitti, 246)

Pada teks “sikap para sejarawan itu merupakan cerminan sikap kaum puritan yang menuduh Muawiyah melakukan sekulerisme dalam islam, dan mengubah khalifah an nubuwwah (kekhalifahan kenabian) menjadi mulk, kekuasaan duniawi.”  Hitti atau penerjemah menyebutkan kata puritan, alangkah lebih bijak apabila menyebut sejarawan tersebut dengan sebutan para salafi saleh.



“Arabisasi kerajaan di bawah kepemimpinan Abdul Malik dan Alwalid meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi publik (diwan) dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab di Irak dan provinsi bagian Timur, dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab di Damaskus, serta penerbitan uang logam Arab. Perubahan bahasa secara otomatis menyebabkan perubahan struktur kepegawaian.” (Philip K Hitti. 1937. Hal 271)

Sejak wilayah seperti Persia dan Damaskus ditaklukkan oleh abdul malik dan al walid pemimpin pada masa Umayyah, maka roda kepemimpinan diambil alih oleh pemimipin masa umayyah. Dan para pemimipin berhak merubah tatanan negara yang ada. Dikatakan oleh Hitti bahwa “perubahan bahasa secara otomatis menyebabkan perubahan struktur kepegawaian.” Hal ini justru dapat dikatakan sebaliknya. Berubahnya struktur kepegawaian menyebabkan perubahan bahasa yang digunakan. Apabila struktur kepegawaian beralih pada pemerintah bani Umayyah yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya, maka secara langsung bahasa yang digunakanpun berubah sesuai dengan pengguna bahasa, yaitu bahasa Arab. Karena bahasa adalah Sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. (Chaer, 1994)



Mari kita perhatikan negara teangga bekas jajahan inggris seperti India, Malaysia, dan singapura. Mereka saat ini baik dalam menggunakan bahasa inggris. Bahasa inggris mendominasi dan hampir menghilangkan bahasa melayu yang seharusnya menjadi bahasa nenek moyang Malaysia dan Singapura. Itu karena politisasi bahasa pada masa mereka menjajah berjalan dengan baik. Bahasa, mereka sebarluaskan agar terus digunakan dan bahasa tidak punah. Arabisasi ini merupakan bagian dari ekspansi bahasa yang di lakukan pada masa Umayyah. Dengan berbagai hal yang terjadi, bahasa Arab saat ini menjadi bahasa resmi PBB, bahasa ke enam dunia.

Selain bahasa sebagai media berlangsungnya administrasi kerajaan, bani Umayyah pengubahan mata uang. Pada tahun 695, Abd Malik mencetak dinar emas dan dirham perak asli murni hasil karya orang Arab. Wakilnya al Hajjaj mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya. (hitti 272). Hingga saat ini nilai tukar mata uang dinar masih unggul, mencapai urutan pertama. Mencapai sekitar rp. 42.000.-


Dalam kitab Jurji Zaidan disebutkan mengenai arabisasi ini adalah asbiyatul al arobiyah (fanatisme Arab). Berawal dari masa jahiliyah ta’assub (fanatisme) golongan sudah menjadi watak bangsa Arab. Pada masa jahiliyah fanatisme terlihat pada golongan yang mengagungkan nasab masing-masing. Pada masa Umayyah tampak beberapa fanatisme dari nama-nama jamiah, maupun lembaga-lembaga. (Jurji Zaidan. 336)

Daulah umayyah sangat gigih dalam menjaga kedudukan Arab, tampak dari pemeliharaan mereka terhadap nasab bangsa Arab. Sampai di perkantoran dan dan lembaga-lembaga tersebar keturunan Arab. Hatta dikatakan bahwa masa khulafaurasyidin adalah masa penyebaran agama, dan masa Umayyah adalah masa pemeliharan segala sesuatu mengenai Arab dan masa pedang. Kemudian daulah Umayyah menyebarkan bahasa Arab ke seluruh wilayah islam. Dengan memindahkan bahasa kibti, romawi, persia ke dalam  kabilah Arab. Setelah mesir dikuasai kabilah qibti, Syiria dikuasai kabilah Romawi, dan Iraq dikuasai kabilah Kildan dan Nibti, maka pemerintahan di motori oleh generasi bangsa Arab hingga negara-negara Mesir, Syiran dan negara yang telah disebutkan tadi melupakan bahasa mereka. (Jurji Zaidan. 344)

Tamapak perbedaan narasi antara Hitti dan Jurji Zaidan Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Hitti mengatakan bahwa bahasa dalam tatanan negara diubah makan pelaku tatanegara juga harus diubah. Berbeda dengan Jurji Zaidan yang mengatakan bahwa perubahan pelaku tatanegara menyebabkan perubahan bahasa yang digunakan.





Daftar Pustaka

Al Quran Al Karim

Hitti, K. Phillip. 1937. History of the Arabs. (terjemhan). PT. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta

Zaidan, Jurji. tarikh al mudun al islami.pdf




Tidak ada komentar:

Posting Komentar