MAKALAH
ORIENTALIS
DAN HADIS NABI
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis
Dosen Pembimbing
Dr.
Aunul Hakim, M.H
Oleh
Afini Hidayah (12310016)
FAKULTAS HUMANIORA
JURUSAN BAHASA DAN
SASTRA ARAB
UIN MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
2014
كلمة الشكر
بسم الله الرحمن
الرحيم
الحمد لله الذي جعل الإسلام الدين القويم،
وجعل العربية لغة مختاره للقرآن الكريم, ووسيلة رئيسية لفهم الدين، وأرشد عباده
إلى الصراط المستقيم، والصلاة والسلام على خير العرب والعجم سيدنا وحبيبنا محمد
ابن عبد الله الذي أرشدنا إلى سعادة الدنيا والآخرة. حمدا و شكرا لله، الذي قد
أعطانا نعاما كثيرة وموفرة حتى نستطيع أن نكتب هذه المقالة تحت الموضوع “Orientalis
dan Hadis Nabi” .
ولاأنسى
أشكر جزيل الشكر إلى الدكتور عون الحكيم، الماجستير الذي شرفنا كثيرالمادة علوم
الحديث. و نرجوا لأصدقاء والأستاذ الاقتراحات من الأخطاء والنقايص لهذه المقالة.
الكاتب
مالانق،
13 مايوا 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Upaya
mencari kelebihan dan kekurangan sesuatu untuk menemukan kebenaran[1]
(kritik) adalah hal yang wajar berlaku dalam studi ilmiah. Demikian pula
terhadap hadis dan para ulama hadis. Kajian hadis dan ulama hadis juga menuai
kritik, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari orang-orang non-Islam.
Jika di
kalangan Islam, kritik hadis bertujuan untuk mengetahui mana hadis yang
diterima (maqbul) dan mana yang tertolak (mardud), untuk
diketahui pula apakah hadis tersebut dapat dijadikan dasar ajaran Islam atau
tidak, maka lain halnnya dengan kritik yang datang dari orang non-Islam. Mereka
(non-Islam) melakukan kritik terhadap hadis dengan tujuan mencari kesalahan dan
kelemahan, untuk digunakan sebagai alat melemahkan Islam. Mereka yang melakukan
kajian dunia Timur (Islam) secara umum dikenal dengan istilah orientalis. Dalam
makalah ini akan dibahas tentang Segala hal yang berkaitan dengan orientalis
dan kritiknya terhadap Hadis.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Dari
latar belakang
diatas maka kita dapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa itu
orientalis dan bagaimana sejarahnya?
2.
Apa tujuan
orientalis dan bagaimana karakternya?
3.
Bagaimana pandangan orientalis
terhadap hadis nabi?
4.
Bagaimana
sanggahan ulama Hadis terhadap orientalis?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Dari rumusan masalah diatas dapat
diambil tujuan pembahasan sebagai berikut:
1.
Mengetahui Apa
itu orientalis dan bagaimana sejarahnya
2.
Mengetahui Apa
tujuan orientalis dan bagaimana karakter kajiannya
3.
Mengetahui
Bagaimana pandangan orientalis
terhadap hadis nabi
4.
Mengrtahui
Bagaimana sanggahan ulama Hadis terhadap orientalis
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1
Definisi dan Sejarah Orientalis
a.
Definisi Orientalis
Kajian orientalis tidak dapat dipisahkan dari studi tentang
orientalisme. Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Dalam bahasa
inggris, kata orient berarti direction
of rising sun (arah terbitnya matahari.)[2]
secara geografis, kata orient berarti dunia timur dan secara etnologis
berarti bangsa-bangsa timur.[3]
Secara luas kata orient juga berarti wilayah yang membentang dari kawasan timur
dekat (turki dan sekitarnya) hingga timur jauh (jepang, korea, cina) dan Asia
Selatan hingga republic-republik muslim bekas Uni Soviet, serta kawasan timur
tengah hingga Afrika Utara.[4]
Adapaun istilah isme bearti aliran, pendirian, ilmu, keyakinan dan sistem. Dengan demikian secara etimologis orientalisme
dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur.
Secara terminologis Dr.Muthabaqani menyimpulkan bahwa makna
orientalisme adalah segala sesuatu yang bersumber dari orang barat Eropa dan
Amerika berupa studi-studi akademis yang membahas masalah-masalah islam dan
kaum muslimin, dibidang syariah, sosial, politik, pemikiran dan seni.[5]
Menurut Dr.
Muthabaqani orientalisme juga termasuk didalamnya
1.
Segala
sesuatu yang disebar luaskan oleh media massa barat baik dengan bahasa mereka
maupun bahasa Arab, melalui Koran, radio, televisi, film, kartun dan
saluran-saluran luar angkasa, yang menyangkut islam dan kaum muslimin.
2.
Segala
sesuatu yang ditetapkan oleh politisi dan peneliti Barat dalam berbagai
konferensi dan seminar mereka, baik yang terbuka maupun yang rahasia.
3.
Segala
sesuatu yang ditulis oleh orang Arab Kristen, seperti kaum maronit, yang
memandang islam dengan kacamata barat.
4.
Segala
sesuatu yang disebar luaskan oleh para peneliti muslim, yang belajar kepada
para orientalis dan mengadopsi banyak pikiran dari kaum orientalis, hingga
sebagian murid orientalis itu melampaui guru-gurunya dalam hal penggunaan
teknik dan metode yang lazim dalam orientalisme[6]
Muthabaqani
menjelaskan definisi orientalisme menurut kritikus orientalisme yang terkenal,
yaitu Edward Said dalam bukunya, “orientalisme adalah bidang pengetahuan atau
ilmu yang mengantarkan pada pemahaman dunia timur secara
sistematis sebagai sutau objek yang dapat dipelajari, diungkap dan
diaplikasikan.”[7]
b.
Sejarah Orientalis
Sejarah orientalisme menurut as sibai’[8]
diawali saat tentara salib menyerang negeri-negeri islam yang didorong oleh dua
factor yaitu factor agama dan fanatisme buta dan factor politik imperialisme.
Dan masih banyak pendapat lain yang semua itu menurut muthabaqani adalah
tanda-tanda awal munculnya orientalisme. Namun titik awal sesungguhnya adalah
sejak abad ke 16 M, yakni suatu masa dimana Eropa tengah mengalami kebangkitan
dengan aktivitas reformasi gereja, rennaisanse dan humanism. Sejak abad 16 itulah
di Eropa mulai banyak karya berbahasa Arab, juga mulai banyak lembaga kajian
yang mengeluarkan berbagai karya berupa buku. Pada tahun 1632 telah terbentuk
lembaga studi bahasa Arab di Cambridge, dan pada tahun 1638 terbentuk pula di
oxford.[9]
2.2
Tujuan dan Karakteristik Orientalisme
a.
Tujuan Orientalisme
1.
Tujuan
Agama ini merupakan tujuan terpenting orientalisme karna pemuka Kristen melihat
bahwa agama islam mempunyai kekuatan dan magnet besar untuk dapat di anut orang
Kristen. Maka pemuka Kristen melancarkan orientalisme untuk mendikriditkan islam
agar orang-orang Kristen menjauhkan diri dari islam
2.
Tujuan
Ilmiah. Sejak Eropa mulai bangkit abad 16, mereka membutuhkan ilmu-ilmu dan
inspirasi baru untuk kebangkitannya. Karena itu ia mengkaji ilmu muslimin dan
menerjemahkannya kedalam bahasa mereka dan mengadopsi kandungannya.
3.
Tujuan
Ekonomi. Pada saat Eropa mengalami kebangkitan ilmiah, pemikiran dan industry
mereka membutuhkan bahan mentah bagi industrinya dan membutuhkan pasar-pasar
baru untuk menjual industrinya yang melimpah. Negeri-negeri islam menjadi
sasaran mereka karena itu mereka mempelajari apapun tentang islam.
4.
Tujuan
Politik. Orientalisme tidak terpisah dengan imperialism Barat. Para orientalis
memasok berbagai informasi dari Negeri yang hendak dijajah.
5.
Tujuan
Budaya. Penyebaran budaya barat merupakan tujuan utama orientalisme. Di Negeri
Arab misalnya mereka memasukan bahasa Eropa seperti Inggris dan Spanyol dan
memusnahkan bahasa Arab Fushah. Orientalis juga menyebarkan paham Barat seperti
nasionalisme dan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) di negeri-negeri
islam.[10]
b.
Karakter Kajian-Kajian Orientalis
Musthafa as Siba’I menjelaskan beberapa karakter kajian orientalis
terhadap islam, diantaranya:[11]
1.
buruk
sangka terhadap sesuatu yang berhubungan dengan islam.
2.
buruk
sangka terhadap tokoh-tokoh dan ulama islam.
3.
Mendeskripsikan
masyarakat ilam, khususnya generasi pertama sebagai masyarakat yang porak-
porandakarena factor kekolotan dan egois.
4.
Mendeskripsikan
kemoderenan islam dengan deskripsi yang jau dari realita
5.
Sikap
tidak mau tau dengan realita masyarakat islam yang sebenarnya, bahkan lebih
condong untuk memvonis masyarakat islam dengan sebatas melihat sikap segelintir
orang.
6.
Memaksakan
penafsiran nash dengan cara pandang mereka yang banyak didorong oleh nafsu dan
cenderung tidak obyektif
7.
Cenderung
menyimpangkan nash-nash agama sesuai dengan tujuan mereka, serta mengaburkan
makna-makna ibadah dikala tidak dapat nash yang dapat mereka plintirkan.
8.
Tidak
tepat dalam menukil referensi.
2.3 Orientalis dan Hadis
a. Pandangan Orientalis Terhadap Hadis
studi sunnah merupakan hal yang urgen, karena ia merupakan sumber
yang orisinil dan genuine bagi agama islam: syariat, agama dan
peradaban. Maka tidak heran jika sunnah menyedot perhatian para ulama hadis,
seperti imam malik, imam Bukhari, imam Muslim, imam Tirmidzi, imam Ibn Majah,
imam An Nasa’I dan yang lainnya.
Disamping itu, studi sunnah juga mendapat perhatian yang luar biasa
dari kalangan orientalis seperti Ignaz Goldizer, Prof. Sachat, Alfred Gume,
Prof. Robson dan yang lainnya termasuk para penulis yang banyak terpengaruh
pemikirannya oleh logika orientalis seperti Ahmad Amin dlam fajr al islam,[12]
Abu Royyah dalam kitabnya adwa ala as sunnah al muhamadiyah dan
lainnya.
Menurut
M. Musthafa Azami, Orientalis Yang Pertama Kali Melakukan Kajian Hadis Adalah
Ignaz goldziher, seorang yahudi
kelahiran hongaria (1850-1920 M) melalui karyanya yang berjudul:
Muhammadanische studien pada tahun 1980 yaitu berisi pandangannya tentang
hadis.[13] Pendapat ini dibantah oleh A.J Wensinck bahwa orientalis pertama
yang mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje yang menerbitkan bukunya Refre
Coloniale Internationale tahun 1886.[14]
Jika pendapat ini benar, maka karya Horgronje terbit empat tahun lebih dahulu
dari karya Goldziher.
Menurut as
sSiba’I, pendapat Goldziher dapat disimpulkan dalam lima poin berikut:[15]
1.
Bahwa
sebagian besar hadis merupakan produk perkembangan islam di bidang politik dan
sosial
2.
Bahwa
para sahabat dan tabi’in berperan dalam pemalsuan Hadis.
3.
Bahwa
rentang jarak dan waktu yang jauh dari
masa Rasulullah SAW membuka peluang bagi para tokoh berbagai aliran untuk
membuat hadis dengan tujuan memperkuat aliran mereka.
4.
Bahwa
sudut pandang para kritikus dikalangan islam berbeda dengan sudut pandang
kalangan non muslim yang tidak menerima banyak hadis yang diakui kebenarannya
oleh ummat islam.
5.
Bahwa
ia menggambarkan enam kitab hadis yang disusun para ulama sebagai himpunan dari
hadis-hadis yang tercecer yang oleh para penghimpunnya dinilai sebagai
hadis-hadis sohih.
b.
Kritik Orientalis Terhadap Sanad
Para
orioentalis beranggapan bahwa hadis yang telah dikodifikasikan dalam
kitab-kitab hadis tidak asli dari Rasulullah, karena sanadnya tidak benar, para
perawi dipandang palsu karena dibuat kemudian. Caetani
berpendapat bahwa Urwah (w. 94 H) Adalah orang pertama yang menghimpun hadis
tetapi tidak menggunakan sanad. Selanjutnya ia menyatakan bahwa pad masa Abdul al Malik (w. antara 70-80 H),
Penggunaan sanad dalam periwayatan hadis juga belum dikenal. Caetani
berpendapat bahwa penggunaan sanad baru dimulai pada masa antara Urwah dengan
Ibnu Ishaq (w. 151 H). berdasar pada pandangannya ia berkesimpulan bahwa sebagian
besar sanad yang terdapat dalam kitab hadis adalah rekayasa para ahli hadis
abad kedua, pendapat ini didukung oleh spranger.[16]
c.
Kritik Orientalis Terhadap Matan Hadis
Diantara orientalis yang melakukan kritik terhadap matan hadis
adalah Ignaz Goldizer dan A.J Wensinck. Goldizer menyangsikan seluruh matan
seluruh matan dan menilainya sebagai buatan ulama ahli hadis dan ulama ahli
ra’yi. Ia mencontohkan pada hadis yang artinya: “ tidak diperintahkan kecuali
tiga masjid, masjid al Haram di Mekkah, masjid an Nabawi di Madinah, dan masjid
al Aqsa di Palestina” adalah bertendensi politik. Katanya Abdullah Ibnu Zubair
yang sedang berkuasa di Mekkah akan mengambil kesempatan untuk membaiat
orang-orang Syam yang pergi haji agar setia kepadanya. Oleh karena itu abdul
malik Ibnu Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak pergi haji ke Mekkah
tapi cukup di Qubbah Al Sakhra (Yerussalem Palestina). Untuk itu ia menugaskan
pada az Zuhairi untuk membuat hadis yang sanadnya bersanbung kepada Nabi.[17]
d.
Kritik Orientalis Tentang
Hadis Sebagai
Sumber Hukum
Pandangan
orientalis terhadap hadis sebagai sumber hokum dapat dilihat dari pandangan
mereka tentang peranan nabi Muhammad dalam pembentukan hokum. Menurut Joseph
Schacht tujuan Muhammad sebagai nabi bukanlah membuat sistem hokum yang baru
melainkan sekedar mengajarkan manusia bagaimana harus bertindak agar selamat
menghadapi perhitungan pada hari pembalasan dan agar masuk surge. Senada dengan
pendapat Anderson bahwa Muhammad tidak berusaha melakukan sistem hokum yang
komprehensif, tetapi hanya melakukan sedikit amandemen terhadap hokum adat yang
sudah ada.[18]
Pandangan
tersebut berate bahwa dimata para orientalis, nabi Muhammad tidak memiliki
otoritas dan kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum. Mereka menolak
adanya hokum sistematis dari nabi, yang konsekuensinya menolak sunnah sebagai
sumber hokum islam. Menurut mereka, kalaupun ada sunnah yang menjadi sumber
hukum islam, maka itu bukan sesuatu yang berasal dari nabi, tetapi berasal dari
tradisi yang sudah ada dan berkembangdalam masyarakat baik masa jahiliyah yang
kemudian direvisi maupun pada masa awal generasi islam, dan seterusnya.
2.4 Bantahan Ulama Hadis Terhadap Kritik
Orientalis
Terhadap kritik
dan tuduhan Ignas Goldziher sebagaimana disebutkan maka diajukan bantahan dari
para ulama hadis diantaranya as Siba’I
berikut ini:
1.
Bahwa
hadis merupakan produk perkembangan islam di bidang politik dan sosial
sepanjang dua abad pertama adalah tidak benar. Karena sejak masa sahabat (abad
pertama) umat islam telah melakukan penyelidikan terhadap hadis-hadis dan
“memburu” para pendusta dan pemalsu hadis. Mereka mengetahui mana hadis yang
shahih dan palsu.
2.
Bahwa
umat islam terdahulu (sahabat dan tabi’in) berperan dalam pemalsuan hadis iti
tidak benar. Karena para sahabat dan tabi’in sangat berhati-hati dalam
periwayatan hadist. Karena mereka memahami ancaman Rosulullah “ barangsiapa
yang mendustakan ajaranku maka hendaklah ia menempati tempat duduk di neraka.”
3.
Bahwa
adanya pihak yang membuat hadis untuk menopang pendapat mereka itu mungkin
saja, namun bukan berate bahwa tokoh aliran fiqh, teologi dan politik telamh
membuat- buat hadis. Itu semua tidak seburuk sangkaan Goldziher. Yang tidak
dipahami Goldziher adalah bahwa perbedaan pendapat para sahabat dan ulama
dilator belakangi oleh banyak factor, bukan karena kehendak nafsu dan sikap
fanatic semata. Mereka berhukum dengan hadis-hadis yang sampai pada mereka dan
berbeda dalam memberikan penilaian. Sebagian menilainya boleh dijadikan dalil
(hujjah) dan sebagian tidak. Atau semua bersepakat bahwa hadis- hadis itu
dipegang sebagai dalil namun hasil istimbat mereka yang tidak sama. Maka tidak
logis apabila mereka dikatakan mereka telah membuat-buat hadis atau mendustakan
Rasulullah untuk mendukung pendapat mereka. Mereka semua sepakat untuk
mengikuti sunnah atau hadis Rosulullah saw.
4.
Bahwa
perbedaan pendapat antara kritikus muslim dan kritikus non muslim sangat
berbeda. Kritikus muslim melakukan kritik terhadap hadis dengan kaidah-kaidah
dan prinsip yang telah dirumuskan dengan baik, dalam rangka mencari dan
meneliti keshahihan suatu hadis guna menjaga kemurnian ajaran yang dibawa nabi
Muhammad saw. Sedangkan kritikus non muslim bertujuan mencari titi lemah dari
ajaran islam kedua ini.
5.
Bahwa
keenam kitab hadis yang disusun para ulama adalah hadis-hadis yang tercecer itu
tidak dapat diterima. Karena itu berarti tidak menghargai sahabat dan ulama
dalam memelihara hadis pada abad pertama dan kedua. Hadis tidak pernak tercecer
karena dijaga lewat praktek sehari-hari oleh umat islam. Haln itu tida terbatas
pada sahabat dan tabi’in saja melainkan tersebar keberbagai wilayah taklukan
pada abad pertama dan kedua. Hadis berpindah dari generasi ke generasi
berikutnya dan terpelihara dari hafalan para penghafalnya. Hadis yang di himpun
oleh Bukhori dan Muslim adalah saringan dari beribu-ribu hadis yang tersimpan
dalam hafalan para penghafal hadis.
Begitupun
M. Musthafa Azmi memberi bantahan Joseph Schaht bahwa sanad adalah buatan orang
belakangan. pernyataan Joseph jelas tidak relevan karna yang ia teliti adalah
kitab fiqih, sedang kitab fiqih tidak cocok untuk rujukan penelitian hadis
karena kebanyakan kitab fiqih tidak menyebutkan sanadnya dengan tujuan
mempersingkat uraian pembahasan.
Dalam
kaitannya terhadap tuduhan Goldziher pula tentang pemalsuan hadis “tidak
diperintahkan kecuali tiga masjid, masjid al Haram di Mekkah, masjid an Nabawi
di Madinah, dan masjid al Aqsa di Palestina” menurut al Zuhri tidak ada bukti
historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut
diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al Zuhri yang tidak pernah bertemu Abdul
Malik Al Marwansebelum tahun 81 H. Di sisi lain pada tahun 68 H, orang-orang
dinasti Umayyah bersada di Mekkah menunaikan ibadah haji, palestina di tahun
tersebut belum berada di bawah kekuasaan bani Umayyah (Malik Ibnu Marwan),
begitupun pembangunan Qubbah AL Skhrah dimulai tahun 69 H (saat itu AZ zuhri
berumur antara 10-18 tahun) dan baru selesai tahun 72 H. Karena itu tidak
mungkin Abdul Malik Ibnu Marwan bermaksud mengalihkan umat islam berhaji dari
Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin Al Zuhri membuat hadis palsudalam usia
antara 10-18 tahun.[19]
BAB 111
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa apapun dan dari
sudut manapun kritik yang dilontarkan para orientalis, pada intinya menggugat
keberadaan hadis sebagai sumber hokum kedua dalam ajaran islam. Kritik yang
mereka lontarkan pada akhirnya bertujuan agar hadis tidak lagi dapat dipakai
sebagai pedoman dalam kehidupan umat islam. Dengan tidak digunakannya hadis
sebagai pedoman, secara otomatis ajaran-ajaran yang dikandung dalam al Quran
tidak dapat ditegakkan.
3.2 DAFTAR PUSTAKA
Smeer zeid, ulumul
hadis, UIN-Malang press, Malang, 2008
Idri, Studi
Hadis, Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Damarlaksana Wahyudin, hadis
dimata orientalis, benang merah
press, Bandung, 2004
http://nimiasata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientalis-terhadap-hadis-dan.html.
[1]
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kritik
[2] Musthafa
maufur, orientalisme: serbuan ideology dan intelektual, ter.
(Jakarta:pustaka al-kautsar, 1995), hlm.11.
[3] Joesoef
sou’yb, orientalisme dan islam (Jakarta: bulan bintang, 1985) him.1.
[4] Musthafha
maufur, orientalisme, hlm.11.
[5] Muthabaqani, al
isytiraq wa makanatuhu bayna al madzahib al fikriyah al muasirah
[6] Muhammad al
Bahi, al fikr al islami alhadis wa silatuhu bi alisti’mar al Ghoribi.
472
[8] As sunnah
wa makanatuhu fi tasyri’ al islami, 186
[11] As Siba’I, as sunnah wa makanatuhu fi
tasyri’ al islami, hal 188.
[12] Baca bantahan
buku ini di kitab as Siba’I hal 237-319
[13] M.Musthafa
Azami, studies, hlm.94
[14] Wahyudin damarlaksana, hadis dimata
orientalis, (Bandung: benang merah press, 2004), hlm 88.
[15] As Sibai
189-190
[16] M. Musthafa
Azami, onschacht’s origin of muhammadan jurisprudence, 234.
[18] Dalam M.
Musthafa Azami, on schacht’s, hlm 19.