Kursus Bahasa Jawa
Ini kisah tentang KKM ku sekitar setengah tahun yang lalu. sebenarnya sudah
lama ingin kutulis namun baru terealisasi sekarang. Kalau di kampus lain
namanya KKN tapi kami UIN Malang KKM, karena katanya berbasis masjid. Awal
sebelum keberangkatan banyak teman dekatku galau memikirkan dengan siapa dan
dimana akan ditempatkan. Ya karena memang kita akan mendapatkan teman baru dari
berbagai jurusan pun dengan kediaman baru. Sedang aku tak memikirkan dan tak
mempersiapkan apa- apa. Hanya satu misi utamaku. “kursus bahasa Jawa.”
Mengingat nenek moyang asli Jawa kendatipun aku kelahiran Sumatera.
Benar Tuhan berada pada perasangka hambaNya. Ketika banyak teman dekatku
tidak betah sebab tidak cocok dengan teman baru malah keberuntungan berpihak
padaku. 13 orang, 5 laki- laki dan 8
perempuan. Tanpa penjajakan kami berteman. Spontanitas yang berbuah
persaudaraan hangat nan ceria. Bersyukur aku selalu dipertemukan dengan orang-
orang baik dan spesial dengan cara masing- masing. Aku harap pola pikir seperti
ini terus menemaniku. Kami akrab satu
sama lain, saling menepis ego masing- masing dibanding menampakkannya. Walau
kadang ada perbedaan pendapat dan semua itu hal biasa.
KKM 50 2014 ditempatkan di Dusun Karang Anyar Lor Desa Karang Nongko
Kecamatan Ponco Kusumo Kabupaten Malang. Elok nian desa ini. Sejuk di kaki
gunung Bromo walau masih agak jauh sih, hehe. Daerah penghasil sayur- mayur dan
terkenal dengan jeruk manisnya. Kami ditempatkan di rumah salah satu warga,
“mbah” begitu akrab kami menyapa. Janda tua tanpa anak. Hanya memiliki beberapa
anak angkat yang pula akrab dengan kami. Sebenarnya kami tidak punya banyak
program kerja, tapi hal inti yang harus didapat perihal bagaimana cara
bersosialisai dengan masyarakat Alhamdulillah berjalan dengan baik. Dan
tentunya misi pribadiku kursus bahasa Jawa menjadi kisah hidup menyenangkan.
Aku selalu saja ‘sok’ bisa. Berbasa basi dengan bahasa Jawa meski sedikit
memalukan. Pernah aku ditegur teman gara- gara kata tilem. Tidur bahasa
jawanya turu halusnya tilem, menurutku. “mbah, mboten tilem
mbah”? itu kupikir sudah sangat halus tapi ternyata salah. “ fini, kalau untuk
mbah bukan tilem tapi sare” kata temanku dan kejadian ini kuulang
untuk beberapa kali. Wah, ternyata ada yang lebih halus dari tilem. Seterusnya
aku harus berbahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan warga, karena mayoritas mereka
tidak bisa berbahasa Indonesia. Begitulah ala bisa karena dipaksa. Syukur tiada
henti, Sebulan aku nikmati kursus bahasa Jawa ditemani keakraban dan keindahan Poncokusumo. :)
Malang, 21 02 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar