Ditertawakan Buku
Bumi berputar. Selalu ada cerita baru dalam dunia baru. Praktek
Kerja Lapangan (PKL) di kota Yogyakartata yang belum genap kuselesaikan menyisihkan
banyak kenangan. Memang benar yang tertera pada palng-plang deretan kota, “Yogya
istimewa.”
Pagi itu aku bersama lima belas teman kelompok nekat berkunjung ke
candi Prambanan. Menilik sejenak budaya dan sejarah yang lestari di kota ini.
Sejarah, ya masih ingat petuah seorang guru “salah satu pemicu sukses adalah
tidak lupa dengan sejarah.
Trans jogja atau familiar disingkat TJ adalah satu-satunya
kendaraan umum yang pas untuk kalangan buta peta Jogja seperti kami, atau lebih
tepatnya sepertiku. Kami menunggu TJ di halte “diklat PU”. Karena bangku Halte
penuh, aku terpaksa berdiri menyandar pada dinding kaca halte. Sempat kuamati pemandangan
sekitar. Tampak dua penjaga halte yang bertugas mengenakan seragam hijau tua
corak hitam. Sepertinya hijau menjadi warna andalan perusahaan trans Jogja ini.
Petugas pertama sibuk melayani para penumpang yang terus berdatangan. Sedang petugas
ke dua berdiri menyandar pada dinding halte mengawasi keadaan sekitar dengan koran
ditangannya. Sesekali matanya awas pada sekeliling, namun banyak kali akhirnya
ia asyik dengan Koran yang ditentengnya. Tidak tau apa yang sedang ia baca,
yang aku tau betapa pekerja biasa sempatkan diri menambah ilmu dengan membaca
disela-sela jam kerjanya.
Kualihkan pandangan pada calon penumpang yang juga berdiri di ujung
halte. Pria berkacamata dengan ransel hitam. Stylenya biasa, namun yang
menarik adalah koran ditangannya. Sepertinya daripada otak-atik gadget
seperti pada umumnya ia lebih tertarik dengan ragam berita di Koran.
Kuperhatikan ia nampak teliti melihat seluruh sudut koran. Kuterka sepertinya
ia sedang memilih topik menarik untuk dibaca.
Selang beberapa menit TJ datang. Satu persatu kami naik TJ. Nasib
berdiri berpihak padaku dan sebagian teman teman lain. Butuh tiga kali transit
dari halte Diklat PU untuk sampai ke halte Prambanan. Pada Transit yang ke tiga
akhirnya aku duduk tidak jauh dari pak sopir. Ku perhatikan gaya sopir memegang
kemudi sambil sesekali melihat padatnya keramaian Yogyakarta. Waktu itu, ntah
di jalan apa namanya lampu merah menyala. TJ kami ikut berhenti. Ini tentu hal
biasa. Tapi yang lain dari kebiasaan adalah pak sopir meraih koran dan
menyempatkan diri membacanya sambil menunggu lampu merah berganti warna.
Inikah yang disebut kota pelajar? Bahkan yang belajar bukan hanya
pelajar. Pekerja dengan segenap kesibukannya juga menyempatkan diri untuk
belajar. Lalu bagaimana denganku? Dengan status mahasiswa di kedua pundakku. Alangkah
banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa ada nutrisi baru untuk akal. Dunia
membaca. Betapa malunya aku ditertawakan banyak buku, Koran dan bacaan lainnya
yang selama ini kusia-siakan.
Afini. Jogja, 13 Agustus 2015