MAKALAH
KONSEP
ILMU NAHWU DALAM PEMIKIRAN
IBRAHIM
MUSTHOFA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Nahwu
Dosen
Pembimbing
Tamim
Mulloh, M.Pd
Oleh
Cakra
Sadida (12310013)
Afini
Hidayah (12310016)
Moch.
Amrozi Fahmi (12310104)
FAKULTAS
HUMANIORA
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
Latar belakang .............................................................................. 1
Rumusan Masalah......................................................................... 2
Tujuan Pembahasa........................................................................ 2
Bab I I: PEMBAHASAN
Biografi Ibrahim Musthofa ............................................................ 3
Pemikiran Ibrahim Musthofa......................................................... 4
Kritik dan Tawaran Ibrahim Musthafa............................................. 5
BAB III: PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................. 12
Daftar Pustaka .............................................................................. 13
كلمة الشكر
بسم الله الرحمن
الرحيم
و النحو أولى أولا أن
يعلما# إذا الكلام دونه لن يفهما[1]
الحمد لله الذي جعل الإسلام الدين
القويم، وجعل العربية لغة مختار للقرآن الكريم, ووسيلة رئيسية لفهم الدين، وأرشد
عباده إلى الصراط المستقيم، والصلاة والسلام على خير العرب والعجم سيدنا وحبيبنا
محمد ابن عبد الله الذي أرشدنا إلى سعادة الدنيا والآخرة. حمدا و شكرا لله، الذي
قد أعطانا نعما كثيرة وموفرة حتى نستطيع أن نكتب هذه المقالة تحت الموضوع
"KONSEP ILMU NAHWU DALAM PEMIKIRAN IBRAHIM MUSTHOFA"
ولاأنسى
أشكر جزيل الشكر إلى الأستاذ تميم الله، الماجستير الذي علمنا كثيرا المادة أصول
النحو. و نرجوا لأصدقاء والأستاذ الاقتراحات من الأخطاء والنقائص لهذه
المقالة.
الكاتب
مالانق،
4 يونيو 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Ilmu
Nahwu merupakan salah satu cabang pengetahuan dasar dalam pembelajaran bahasa
Arab. Pada masa awal kelahirannya, ilmu ini dimaksudkan sebagai panduan dan
kaidah bagi bahasa Arab yang benar dan fasih. Tetapi dalam perkembangannya
kemudian, ilmu nahwu telah berubah menjadi suatu disiplin yang pelik dan rumit.
Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang turut mematangkan dan mempengaruhi
disiplin ini, terutama pengaruh logika formal, filsafat dan ilmu kalam.
Karenanya,
dalam menyusun kaidah-kaidah nahwiyyah pun para ahli nahwu menggunakan metode
logika formal dan falsafati yang sarat akan alasan, sylogisme dan lain- lain. Akibatnya,
nahwu telah kehilangan fungsinya sebagai kaidah yang simpel dan membantu para
peminat bahasa Arab, dan bahkan ia seringkali dituduh sebagai penghambat
mempelajari bahasa Arab.[1]
Corak
nahwu yang di nilai sulit tersebut memunculkan ide-ide baru para ulama Nahwu
untuk memunculkan kaidah- kaidah nahwu yang lebih simple dan mudah dipelajari.
Para tokoh kontemporer ilmu nahwu diantaranya As suyuthi, Ibrahim Musthafa,
Syauqi Dhoif, yang membuat rumusan baru atau reformulasi dan mengembalikan
tujuan semula ilmu ini dibangun. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas
tuntas konsep ilmu Nahwu yang dibawakan oleh Ibrahim Musthofa, salah satu ulama
Nahwu kontemporer.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka
kita dapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Siapa
Ibrahim Musthofa?
2. Bagaimana
pemikiran nahwu menurut Ibrahim Musthofa?
3. Bagaimana
kritik dan tawaran Ibrahim Musthofa mengenai Ilmu Nahwu?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Dari rumusan masalah
diatas dapat diambil tujuan pembahasan sebagai berikut:
1. Mengetahui
siapa Ibrahim Musthofa
2. Mengetahi
agaimana pemikiran nahwu menurut Ibrahim Musthofa
3. Mengetahui
bagaimana kritik dan tawaran Ibrahim Musthofa mengenai Ilmu Nahwu
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Ibrahim Musthofa
beliau dilahirkan di andalus pada tahun 1863
hijriah dan meninggal pada tahun 1927 hijriah,[2]
Ibrahim musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu
abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan
pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas
Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo).
Di masa
remajanya, beliau mengenyam masa pendidikannya di beberapa universitas di
mesir, mulai dari universitas al-azhar, darul ulum, universitas mesir lama,
universitas mesir al-ulya dan universitas mesir baru.
Rasa jenuh dan bosan
terhadap konsep nahwu klasik sudah beliau rasakan saat berada di al-azhar, dan
mulai meragukan konsep tersebut ketika berada di universitas mesir lama,
sehingga pada saat berada di universitas mesir baru beliau mulai menyusun
konsep nahwu yang baru.[3] Pada
bulan januari 1937 beliau mempublikasikan karyanya dalam ilmu nahwu yang
berjudul “Ihya’ al-nahwi” yang didalamnya beliau menawarkan konsep dan metode
pengkajian ilmu nahwu yang baru.[4]
Pada bagian pengantarnya,
Ibrahim Musthafa menyatakan sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu
yang aku geluti selama tujuh tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa
lembar saja. Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari
bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para pelajar dan
menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel sehingga mereka dapat
dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga mengantarkan mereka dapat memahami
uslub-uslubnya.[5] http
2.2 . Pemikiran Nahwu Ibrahim Musthofa
Konsep nahwu yang di tawarkan
Ibrahim Musthofa tidak jauh berbeda dengan konsep yang telah dikemukakan oleh
Ibnu Madho’ salah seorang ulama pembaharu nahwu, seperti dalam hal penolakan
terhadap amil dan lainnya, beliau juga mengemukakan beberapa pendapatnya yang
lain tentang tanda I’rob, Tawabi’ dan lainya. [6]
Beberapa opini atau pernyataan penting yang
beliau sebutkan dalam kitabnya ihya’ an-nahwu antara lain :
A.
Rofa’(dhommah) adalah tanda isnad
B.
Jar (kasroh) adalah tanda idhofah
C.
Fathah bukanlah tanda I’rob, melainkan hanya
harokat yang ringan dan digemari oleh orang arab disetiap mengakhiri perkataan,
dan tidak banyak mendapat perhatian, yang mana hal itu serupa dengan perihal
sukun
D.
Tanda I’rob dalam isim termasuk dalam hal
diatas( rofa’ dan jar) kecuali dalam hal bina’ ataupun bagian dari tawabi’. [7]
Beliau juga menambahkan beberapa point penting
lainnya yang tertulis dalam pendahuluan bukunya tersebut, yaitu :
a.
Tanwin merupakan tanda nakiroh(kata umum)
b.
Tidak ada isim ma’rifat yang bertanwin( kata
khusus)
c.
Kata sifat(na’at) boleh bertanwin, kecuali kata
sifat tersebut tertentu pada isim ma’rifat (man’utnya). [8]
Konsep baru yang
disumbangkan oleh Ibrahim musthofa ini setidaknya telah mempengaruhi pada
generasi-generasi sesudahnya dalam
pengkajian ilmu nahwu, walaupun tidak sedikit pula yang menolak dan mengkritik
ide pembaharuannya tersebut.[9]
2.3 Kritik dan Tawaran Nahwu Ibrahim Muusthofa
Ibrahim Musthafa telah
banyak memberikan sumbangsih pemikiran pembaruan terhadap Ilmu Nahwu. Dari
pemikiran-pemikirannya, diantaranya yang terpenting adalah tentang
redefinisi nahwu, penolakan terhadap amil, pembagian ulang masalah i’rab,
tanda-tanda i’rab yang bersifat far’iyah dan tawabi’.
1. Redefenisi
nahwu
Sebelum mengajukan
definisi nahwu menurut versinya, Ibrahim Musthafa terlebih dahulu mengkritik
para ulama’nahwu klasik yang pada umumnya memberi definisi nahwu
dengan:”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui posisi akhir kata baik dari
segi mu’rab maupun mabninya”[10]
Dengan definisi nahwu
seperti itu, lanjut Ibrahim, kajian nahwu hanya berkutat dan terfokus pada pada
huruf-huruf terakhir pada sebuah kata-kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan
mabninya. Definisi seperti ini, di kritik Ibrahim,
sama dengan mempersempit wilayah kajian nahwu.
Bagi Ibrahim pengertian nahwu adalah “aturan
penyusunan kalimat dan penjelasan posisi setiap kata yang ada di dalamnya,
posisi kalimat dalam kaitannya dengan kalimat lain yang lebih luas, sehingga
menjadi sebuah ungkapan/susunan yang sistematis dan memiliki pengertian yang
memadai”.[11]
2. Penolakan
pada amil
Sebelum mengkritik dan
menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebih dahulu menggali dan
mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan menyatakan sebagai berikut:
“lebih dari seratus ribu tahun mereka menekuni dan mengkaji masalah i’rab dan
kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat dan kaidah-kaidahnya,
tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk membongkar rahasia i’rab dan
hakikatnya? Pada prinsipnya kajian mereka menyatakan bahwa I’rab adalah wujud
adanya pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan) maupun yang tidak. Mereka
membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara kerjanya seacara panjang
lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi mereka adalah nahwu itu sendiri”.[12]
Beliau mengklarifikasikan sebagai berikut:
a.
Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut tidak
disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar), memang ada amil
yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan (muqaddar). Dalam satu
jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak sama seperti dalam contoh:[13]
"سقيا لك، تقديره –إسق اللهم سقيا دعائى
لك”
b. Dua amil tidak
boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma’mul. Kalau kasus ini terjadi
maka para ulama’ nahwu klasik membagi cara kerja keduanya, satu amil
mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya lagi beroperasi pada segi
posisinya seperti dalam kasus kalimat:"بحسبك هذا". Huruf “ba” pada kata “hasbika”
bermal pada lafadz “hasbika” itu sendiri, sedangkan amil ibtida’nya beramal
pada posisinya yang menjadi mubtada’. Dari kasus semacam ini lalu mereka
menciptakan teori “al-Tanâzu’” (saling berebut dalam beramal) yang sangat rumit
dan berbelit-belit.[14]
c. Pada prinsipnya
yang dapat menjadi amil adalah fi’il semata dan hanya beramal pada isim, baik
rafa’ nashab. Fi’il hanya dapat merafa’kan satu isim saja, menasabkan lebih
dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan menasabkan sekaligus.[15]
d.
Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki
daya beramal sempurna, sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi
sebagai amil yang lemah. Ia tidak dapat beramal kepada kata yang mendahuluinya,
bahkan diantaranya ada dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat
tertentu seperti fi’il yang berfungsi sebagai ta’ajub, juga kata ni’ma dan
bi’sa. Sedangkan fi’il naqis hanya dapat beramal kepada mubtada’ dan khabar.
e.
Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena
dipersamakan dulu dengan fi’il seperti isim fa’il, isim maf’ul dan isim
mashdar. Setiap isim yang tidak memiliki kemiripan dengan fi’il maka ia tidak
dapat beramal atau menjadi amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada sesama
isim saja, tetapi juga dapat beramal pada fi’il, ia dapat merafa’kan dan
menashabkan isim, tetapi terhadap fi’il ia hanya dapat menjazamkan saja.[16]
f.
Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri sebagai huruf
asli dan tidak dipersamakan terlebih dahulu dengan fi’il, kedua dapat beramal
jarena dipersamakan dengan fi’il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim maupun
fi’il, ia merafa’kan, menasabkan dan mengejerkannya. Terhadap isim, huruf dapat
beramal` menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam proses amalnya
dipersamakan dengan fi’il, maka kekuatan amalnya dilihat dari sejauhmana huruf
tersebut memiliki kemiripan dengan fi’il baik dari segi makna maupun lafadznya.
Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal karena ia memiliki arti yang berfungsi
meperkuat pernyataan (taukid). Oleh sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan
fi’il dari segi maknanya, disamping itu huruf “inna” juga terdiri dari tiga
huruf, karenanya ia mirip dengan fi’il dari segi bentuknya. Jika “syiddah” yang
ada pada huruf “inna” itu dihilangkan dan menjadi “in” saja, maka ia akan
kehilangan daya kemiripannya dengan fi’il yang berarti pula semakin lemah
beramalnya.
g.
Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi
pasangan khusus bagi kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan” dan “lam”
misalnya, keduanya dapat beramal terhadap fi’il mudhari’ sebab keduanya memang
hanya dapat berpasangan dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda misalnya dengan
huruf “qad”, huruf ini tidak dapat beramal seba ia tidak memiliki pasangan
khusus, ia dapat masuk pada fi’il mudhari’ maupun fi’il madhi.[17]
h. Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama
dalam menurut konteks dan posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang
dapat beramal sebagaimana amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf
“inna”.
i.
Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi jika amil itu termasuk
kategori amil yang kuat, maka ia dapat
diletakkan setelah ma’mulnya.
j. Pada prinsipnya
antara amil dan ma’mul harus terkait langsung, tidak ada pemisah diantara
keduanya, namun jika amil termasuk kategori yang kuat maka ia dapat dipisah
dengan ma’mulnya.
k. Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki
posisi lebih lemah daripada amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil
yang bekerja untuk fi’il terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi
syarat-syaratnya seperti huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât
al-syarthi”.
l. Sebuah kata,
dapat berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul sekaligus, tetapi dua kata tidak
dapat saling beramal.
n. Ada beberapa amil yang hanya dapat beramal dari
segi “mahalnya” saja, bukan pada lafadznya karena adanya hal-hal tertentu yang
membuatnya demikian.
o. Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal
sama, maka mereka akan dimasukan dalam sebuah keluarga seperti “inna” dan
“kâna”. Masing-masing dari keluarga huruf tersebut memiliki cara kerja yang
lebih luas. Itu sebabnya, ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab),
masing-masing mereka juga memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang lain di
luar kelompok mereka.[19]
3. Penyatuan
tempat antara mubtada, fail dan naibul fail
Menurut beliau disatukannya ketiga bab tersebut
karena antara ketiganya itu sama-sama isim, karena ketiga hukumnya sama-sama
rafa’, kata beliau “jika kita melihat bab ini, kita akan menemukan bab yang
menyebabkan ketiganya itu bisa dimasukkan dalam satu bab”.[20]
4. Fathah
bukanlah alamat I’rob
Jika selama ini tanda I’rab yang dikenalkan
dalam nahwu ada tiga macam yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka menurut
Ibrahim musthafa fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu tanda i’rab. Jadi
menurutnya, tanda i’rab itu hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya
muncul bukan karena adanya pengaruh dari amil tetapi dari si pembicara sendiri
untuk menentukan makna dari kalimat.
Dhlommah adalah tanda dari isnad, sedangkan
kasroh adalah tanda dari idlafah, Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua
bahasan nahwu yang termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah
yaitu idafah konvensional (kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf
(jar) seperti huruf “min. ila’ ‘an. ‘ala’ fi’ dan lain sebagainya yang olehnya
disebut sebagai huruf idhafah (hurûf al-Idhafah).
Sedangkan fathah menurut beliau bukanlah
termasuk dalam tanda I’rab karena menurut beliau fathah tidak enimbulkan atau
menunjukkan ma’na apapun, adi sebenarnya fathah itu adalah tanda yang disukai
orang arab dikarenakan fathah itu lebih ringan dari tanda yang lainnya.
5. Penolakan
terhadab alamat I’rab fariyah (cabang)
Disamping i’rab asli (dhammah, kasrah dan
fathah), para ahli nahwu klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang atau
yang biasa disebut dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan sebabagi
pengganti dari i’rab yang asli.
Dalam kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti
contoh-contoh berikut ini: "جاء أبوك، رأيت أباك،
مررت بأبيك”, menurut ahli
nahwu klasik yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf “wawu”, yang
kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam contoh ketiga
alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”.
Menurut Ibrahim musthafa sesuatu seperti itu
terlalu mengada-ngada dan sangat dipaksakan, karena kalimat tersebut sebenarnya
kalimat yang mu’rab seperti kalimat yang lainnya, seperti pada kasus tanda “و” ketika
rafa’ atau “ي” ketika jar pada jama’ mudzakkar salim, menurut beliau
sebenarnya alamat dari hal ter sebut bukanlah “و” ataupun “ي”, tetapi kalimat tersebut tandanya bisa
dikembalikan pada alamat asalnya yaitu
dlommah dan kasroh dan kata ya’ dan wau
hanya sebagai “isybâ’”
(pemuasan atau pemantapan semata).[21]
6. Tawabi’
Tawâbi adalah sebuah kata atau kalimat yang
mengikuti kata atau kalimat sebelumnya. tawabi’ tersebut adalah “al-athf,
al-na’at, al-taukid dan al-badal”[22].
Ibrahim tidak menolak adanya tawabi’ ini. Yang ia usulkan adalah agar
pembahasan tentang athaf (al-Athf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi
atau menjadi pembahasan tersendiri. Sebab lafadz yang diatafkan memang tidak
termasuk dari tawabi, tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan
ma’thuf-nya.
Pertama menurut beliau
a’thaf nasaq tidak dimasukkan dalam tawabi’, dikarenakan menurut beliau a’taf
nasaq menyerupai terhadap sifat, dan i’rab dari hal ini dimasukkan dalam isnad
ataupun idlafah, berarti menurut beliau pembahasan dari a’thaf nasaq terfokus
pada ma’na huruf a’taf, bukan pada kalimatnya.
Kedua, menurut beliau
na’at sababi juga tidak bisa dimasukkan kedalam tawabi’, alasan dari na’at
sababi ini juga sama dengan a’taf nasaq, maksudnya dengan sebab apapun na’at
sababi adalah sifat.
Ketiga, yang lebih aneh
menurut beliau khabar harus dimasukkan dalam tawabi’, karena dilihat dari
pengertian tawabi’ sendiri adalah kalimat yang mengikuti kalimat sebelumnya,
menurut beliau khabar dimasukkakn kedalam tawabi’ karena hal tersebut.[23]
7. Isimnya (لا) نفيه للجنس
Menurut ulama ilmu nahwu terdahulu isimnya la
nafiyah liljinsi ini mabni ala fathah, dan mahalnya nashab apabila mufrad, dan
apabila mudaf atau syibeh mudaf maka menjadi mu’rab dan tetap dibaca nashab. [24]
Akan tetapi menurut
ibrahim musthafa bukanlah seperti itu, jadi menurut beliau antara (لا) dan
isimnya itu adalah satu kesatuan yang belum sempurna tanpa khabar setelahnya.[25] Contoh: لاريب,لاشك
8. Tanwin
dalam alam
Menurut ulama nahwu terdahulu “tanwin adalah
alamat dari isim”[26],
sedangkan menurut ibrahim musthafa hal tersebut tidaklah benar, menurut beliau
tanwin bukanlah alamat dari isim bahkan menurut beliau sebenarnya isim
itu tidak mungkin di tanwin kecuali yang nakirah.
9. Isim
ghairu munsharif
Sebagaimana ibrahim
mustafa tuturkan bahwasanya tanwin adalah tanda dari nakirah, dan asalnya itu
tidaklah ditanwin, maka isim ghairu munsharif itu adalah isim alam yang ajami
yaitu nama-nama sealain nama orang arab, juga tarkib mazji, dan yang mengikuti
wazan fiil, itu adalah yang tidak bisa kemasukan tanwin, dan itu bukanlah
karena ilat tapi karena memang asalnya tidak ditanwin. [27]
BAB III
PENUTUP
Ibrahim
Musthafa adalah salah satu ulama pembaharu Nahwu abad modern. Ia mengarang
kitah ihya’ an Nahwi yang berisikan tentang pembaharuan kaidah nahwu dari nahwu
klasik sebelumnya agar menjadi simple dan mudah dipelajari oleh kalangan
manapun.
Beberapa opini atau pernyataan penting yang
beliau sebutkan dalam kitabnya ihya’ an-nahwu antara lain :
A.
Rofa’(dhommah) adalah tanda isnad
B.
Jar (kasroh) adalah tanda idhofah
C.
Fathah bukanlah tanda I’rob, melainkan hanya harokat
yang ringan dan digemari oleh orang arab disetiap mengakhiri perkataan, dan
tidak banyak mendapat perhatian, yang mana hal itu serupa dengan perihal sukun
D.
Tanda I’rob dalam isim termasuk dalam hal
diatas( rofa’ dan jar) kecuali dalam hal bina’ ataupun bagian dari tawabi’.
DAFTAR PUSTAKA
Dhaif,syauqi. Tafsir An-nahwi
At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi.1986. Kairo:
Daar Al-ma’aarif.
Ghalayini, Musthafa. Jami’ud Durus al ‘Arabiyyah. 2005.
Kairo: Darul Hadits
Musthafa, Ibrahim. Ihya’un
Nahwi. 1992. Kairo: Lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al- nasyr.
Syekh Yahya, syaifudun al imrithi, nadzam
al imrithi. Madrasah hidayah surabaya
[1] http://shaniadewa.blogspot.com/2012/11/perkembangan-ilmu-nahwu-kontemporer.html. akses 04 juni 2014
[4] Syauqi Dhoif. Tafsir An-nahwi
At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986. Kairo:
Daar Al-ma’aarif, hlm: 27
[6] Syauqi Dhoif. Tafsir
An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986. Kairo: Daar Al-ma’aarif, hlm :
27-28
[8] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2. pdf
[12] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2, pdf
[13] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[14] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[15] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[16] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[17] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2 pdf
[18] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992.
Mesir: Cetakan ke 2 pdf